Desember 4, 2024

Review Bekasi

Temukan Berita & berita utama terbaru tentang INDONESIA. Dapatkan informasi lebih lanjut tentang INDONESIA

Audit Indonesia menemukan pajak yang belum dibayar atas 22 juta hektar perkebunan kelapa sawit

Audit Indonesia menemukan pajak yang belum dibayar atas 22 juta hektar perkebunan kelapa sawit
  • Sekitar 9 juta hektar (22,2 juta acre) – area seluas tiga kali luas Belgia – tidak membayar pajak, demikian temuan audit pemerintah Indonesia.
  • Luhut Bandzaitan, seorang pejabat tinggi pemerintah, mengatakan pemerintah akan mendenda pemilik perkebunan yang tidak membayar pajak alih-alih membawa mereka ke pengadilan.
  • Aktivis meminta pemerintah menuntaskan akar permasalahan ketidakberesan penerbitan izin.

JAKARTA – Audit pemerintah terhadap industri kelapa sawit Indonesia menemukan bahwa 9 juta hektar (22,2 juta hektar) pemegang konsesi – area seluas tiga kali Belgia – tidak membayar pajak.

Menurut Menteri Utama Luhut Pandjaitan, yang membidangi investasi, termasuk industri kelapa sawit, angka itu diperoleh pemerintah setelah menginstruksikan Badan Pemeriksa Keuangan (PPKB) untuk mengaudit semua perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Tanah Air.

Audit bertujuan untuk memeriksa semua aspek perusahaan kelapa sawit termasuk konsesi, produksi dan volume konsesi.

Audit tersebut menemukan bahwa 16,8 juta hektar (41,5 juta acre) dari 20,4 juta hektar (50,4 juta acre) konsesi kelapa sawit negara sedang ditanami.

Dari perkebunan aktif tersebut, hanya 7,3 juta hektar (18 juta hektar) yang dikenai pajak, kata Luhut.

Oleh karena itu, lebih dari 9 juta hektar pemegang konsesi telah menghindari kewajiban pajak.

“Sekarang kita kejar [these companies to pay taxes]” dikutip media online Luhut Kumbaran.

Ia mengaku telah mengkomunikasikan temuan tersebut kepada Kementerian Keuangan dan Presiden Joko Widodo.

Temuan ini mencerminkan kondisi industri kelapa sawit Indonesia yang dirundung masalah transparansi dan akuntabilitas, kata Ahmad Surambo, direktur eksekutif Palm Oil Industry Watch.

Akar permasalahannya terletak pada industri tahap pertama yang diperbolehkan, ujarnya.

Karena negara tidak memiliki sistem untuk memastikan bahwa tidak ada korupsi dan malpraktik dalam proses perizinan, perusahaan dapat beroperasi dengan izin di bawah standar atau bahkan tanpa izin. Hal ini menyebabkan perbedaan data perkebunan antara lembaga pemerintah, menciptakan celah yang dapat digunakan perusahaan untuk menghindari pembayaran pajak, kata Ahmad.

Project Director Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Girita Anindarini mengatakan, sebelum pemerintah menindak pemegang konsesi, harus mengklarifikasi data terlebih dahulu.

Hal ini dimaksudkan agar pemerintah dapat mengetahui apakah perusahaan-perusahaan tersebut sedang dalam proses membayar pajak atau menolak membayar pajaknya.

Achamad juga menunjukkan bahwa jumlah perkebunan yang tidak dikenai pajak cukup signifikan karena mencakup lebih dari separuh konsesi yang ditanami.

READ  Menjadikan ekspor sebagai penyangga ekonomi bagi Indonesia di tengah ketidakpastian

“Jumlah pajak yang belum dibayar pasti sangat besar,” katanya kepada Mongabay. “Lembaga-lembaga ini adalah masalah transparansi dan akuntabilitas [that don’t pay taxes] beroperasi di tanah milik pemerintah, bukan milik pribadi mereka. Pemerintah telah memberikan konsesi atau izin kepada perusahaan-perusahaan tersebut untuk beroperasi di dalam HGU [business permit]Tapi masyarakat perlu tahu tentang pembayaran pajak mereka.

Perkebunan kelapa sawit yang baru ditanam di Aceh, Indonesia. Merah A. Gambar oleh Butler/Mangabay.

Pendekatan militer

Luhut mengatakan pemerintah akan menangani pemegang konsesi yang nakal ini dengan pendekatan militer dengan mengenakan denda daripada membawa perusahaan ke pengadilan.

“Saya bilang ke presiden jangan dibawa [these cases] Secara hukum, tetapi gunakan denda sebagai gantinya [they] Itu melanggar aturan,” katanya. “Jadi mereka [palm oil companies] Mendapat denda yang besarnya akan ditentukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Luhut tak mau menempuh jalur hukum untuk menangani masalah ini karena akan memakan waktu lama.

“Jadi di militer ada konsep kesederhanaan dalam menyerang. Menjadi tentara, itu yang saya ikuti,” kata Luhut, pensiunan jenderal bintang empat angkatan darat itu.

Dia mengatakan, jika denda tidak dibayar, perkebunan akan diambil alih oleh pemerintah.

Ahmad mengatakan seharusnya pemerintah mengambil tindakan hukum terhadap pemilik perkebunan yang tidak membayar pajak karena Indonesia adalah negara hukum.

“Semuanya harus berdasarkan hukum. Ini hasilnya,” katanya. “Kalau Luhud mau kena denda, buat peraturan dan kirim presiden [the regulation].”

Krita dari ICEL mengatakan penting tidak hanya bagi perusahaan untuk membayar pajak, tetapi juga bagi pemerintah untuk menghukum setiap perusahaan yang melanggar hukum dengan mencemari lingkungan dan merampas hak-hak masyarakat setempat.

“Perusahaan-perusahaan ini harus dituntut atas pelanggaran lingkungan dan hak asasi manusia mereka, terlepas dari apakah mereka membayar pajak atau tidak,” katanya kepada Mongabay.

Direktorat Pajak Kementerian Keuangan telah memulai penyelidikan atas masalah tersebut. dikatakan Juru Bicara Kantor Pajak TV Astudi.

Dia mengatakan, Ditjen Pajak akan mensinkronkan datanya terlebih dahulu dengan data Luhut, karena kemungkinan ada perbedaan besaran manfaat yang dibayarkan kepada pemerintah.

Ahmed mengatakan, hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah memilah perbedaan data perkebunan antar instansi pemerintah sehingga jelas perusahaan mana yang tidak membayar pajak dan karenanya harus dihukum.

Dengan demikian, penting bagi pemerintah untuk membekukan penerbitan izin baru, katanya.

Karena menerbitkan izin baru tanpa membenahi celah dalam sistem penerbitan izin dan pemungutan pajak hanya akan menambah masalah, kata Ahmad.

READ  Ketidakpastian kebijakan Indonesia menghalangi dimulainya kembali ekspor minyak sawit

“Terbukti, persoalan perizinan belum terselesaikan. Melalui penemuan [of nonpayment]”Pemerintah diam-diam mengakui bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan,” katanya.

Karena itu, pemerintah harus memperbaharui kebijakan pelarangan sawit, kata Ahmad.

Larangan itu diberlakukan pada 2018 untuk memungkinkan industri mengatasi masalah korupsi, penggundulan hutan, sengketa tanah, dan pelanggaran tenaga kerja yang telah lama dikaitkan dengan minyak sawit. Itu berakhir pada tahun 2021, dan sementara pemerintah memiliki opsi untuk memperbaruinya, ia memilih untuk tidak melakukannya.

“Pemerintah saat itu sudah on track [with the moratorium]Tapi masalahnya masih belum selesai,” kata Akhmat.

Berakhirnya moratorium berarti pemerintah dapat kembali mengeluarkan izin baru kepada perusahaan perkebunan. Ini akan mempersulit pemerintah untuk mengatasi akar penyebab masalah di industri, kata Ahmad.

“Tanpa [a freeze on new permits]”Industri ini akan selalu terganggu dengan masalah keras,” katanya.

Hutan dan kelapa sawit di Jambi, Indonesia.  Kredit foto: Merah A.  Kepala pelayan
Hutan dan kelapa sawit di Jambi, Indonesia. Kredit foto: Merah A. Kepala pelayan

Tanggung jawab perusahaan

Eddy Martono Rustamadji, Presiden GAPKI, asosiasi perdagangan utama kelapa sawit negara, mengatakan perusahaan perkebunan di Indonesia tidak mungkin menghindari pembayaran pajak karena sulit untuk menghindari pembayaran pajak.

Karena itu, Luhut meminta perusahaan menjelaskan lebih detail soal pemilik perkebunan yang tidak membayar pajak.

“Perlu diperjelas siapa adalah siapa [are not paying taxes],” kata Edy seperti dikutip CNN Indonesia. “Bagi perusahaan, ini terlihat sangat sulit [for them] Sangat mudah untuk menghindari membayar pajak dan melihat [for them] Jika mereka tidak benar-benar membayar pajak.”

Dia yakin semua anggota GAPKI membayar pajak sesuai undang-undang.

Karena anggota GAPKI tersertifikasi ISPO, program keberlanjutan minyak sawit negara. Pada tahun 2022, 80% Anggota GAPKI bersertifikat ISPO.

Eddie mencontohkan, pembayaran pajak merupakan salah satu syarat sertifikasi ISPO.

Ahmed mengatakan penghindaran pajak memang dimungkinkan karena industri ini penuh dengan korupsi.

Dia mencontohkan kasus Duda Palma Group, perusahaan kelapa sawit milik miliarder Indonesia Surya Darmadi.

Pada bulan Februari, Surya menyuap pejabat di Sumatera untuk mengizinkan perusahaannya menanam pohon kelapa sawit di lahan yang sebelumnya dinyatakan sebagai hutan alam dan di mana perusahaannya tidak memiliki izin untuk bercocok tanam.

Karena perusahaannya tidak memiliki izin yang layak untuk beroperasi di kawasan hutan, mereka Tidak perlu Membayar jenis pajak tertentu. Akibatnya, Pengadilan Tipikor Jakarta memerintahkan Surya untuk membayar 2,2 triliun rupiah (sekitar $147 juta).

READ  Inisiatif Ketahanan Bencana Indonesia Diperkenalkan pada Konferensi PRIMO

Para hakim memerintahkan pemerintah Surya untuk membayar ganti rugi tambahan sebesar 39,7 triliun rupiah ($2,6 miliar) dalam apa yang disebut sebagai kasus korupsi paling mahal di Indonesia.

“Bahkan perusahaan papan atas seperti Duda Palma pun belum membayar pajak karena tidak memiliki izin yang layak,” kata Akhmat.

Pemilik pohon palem kecil bersantai di taman di Ria, Indonesia. Gambar oleh Hans Nicolas Zhang/Mangabay.

UE

Ahmad mengatakan temuan ini semakin merusak reputasi industri kelapa sawit Indonesia.

Hal ini akan mempersulit Indonesia untuk mengekspor minyak sawitnya ke negara-negara UE Baru-baru ini diterima Peraturan yang melarang deforestasi dan perdagangan produk dari sumber ilegal.

Pertanian adalah salah satu pendorong deforestasi terbesar di dunia. Dan deforestasi menyumbang 10% dari emisi gas rumah kaca global yang menyebabkan perubahan iklim.

Undang-undang penting tersebut bertujuan untuk menangani kontribusi UE dengan menghapus deforestasi dari rantai pasokan produk sehari-hari yang dijual di Eropa.

Undang-undang, yang secara resmi dikenal sebagai Peraturan No-Deforestasi Eropa, menargetkan ternak, kakao, kopi, minyak kelapa sawit, karet, kedelai, dan produk yang diberi makan atau dibuat dari kayu dan produk seperti kulit, coklat, kertas cetak. dan furnitur.

Setelah diberlakukan, undang-undang tersebut akan mengklasifikasikan negara pengekspor berdasarkan risiko deforestasi mereka. Negara berisiko rendah akan memiliki prosedur uji tuntas yang sederhana, sedangkan negara berisiko tinggi harus menjalani uji tuntas yang lebih ketat. Pengecekan menggunakan koordinat geolokasi, instrumen pelacak satelit dan analisis DNA.

Ada kekhawatiran jika Indonesia dicap sebagai negara berisiko tinggi, produsen minyak sawit di negara tersebut akan semakin sulit mengekspor produknya ke UE.

Ahmad mengatakan, hal itu akan terjadi dengan baik jika pemerintah tidak mengatasi masalah penghindaran pajak.

“Uni Eropa ingin semuanya legal, artinya tidak boleh ada penghindar pajak [exporting their goods to the EU],” katanya. “Dengan temuan tersebut, Indonesia dapat digolongkan sebagai negara berisiko tinggi.”

Gambar spanduk: Perkebunan kelapa sawit yang berdekatan dengan hutan di Kalimantan Timur. Gambar oleh Ricky Martin/Sifor via Flickr (CC BY-NC-ND 2.0).

Komentar: Gunakan Format ini Kirim pesan ke penulis posting ini. Jika Anda ingin memposting komentar publik, Anda dapat melakukannya di bagian bawah halaman.