Di Universitas Ciputra, sebuah sekolah swasta di kota Surabaya, siswa dengan lebih dari 12.000 pengikut Instagram atau 15.000 pengikut TikTok dapat menerima 100 persen biaya sekolah tahunan mereka melalui beasiswa.
Demikian pula di Universitas Muhammadiyah Malang, mahasiswa yang memiliki minimal 5.000 pelanggan YouTube atau 10.000 pengikut di Instagram dapat memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan keuangan.
“Ada sesuatu yang sangat unik di Indonesia… hal ini tidak terjadi di negara lain,” kata Angga Prawadika Aji, pakar komunikasi di Universitas Air Lanka di Surabaya.
“Ada daya tarik yang kuat terhadap media sosial dan budaya selebriti di Indonesia… dan ini sangat penting,” ujarnya. “Anda melihat anak-anak ditanya ingin menjadi apa mereka ketika besar nanti, dan mereka mengatakan ingin menjadi seorang influencer.”
Beasiswa ini telah memicu perasaan campur aduk di kalangan mahasiswa dan akademisi, beberapa di antaranya mengungkapkan rasa frustrasi mereka melalui media sosial terhadap skema tersebut.
Siswa sekolah menengah Indonesia Devina, 19, sangat gembira ketika dia menerima beasiswa berdasarkan prestasi untuk mengejar gelar sains di sebuah universitas negeri di kota Purwakarta.
Sebagai anak tertua dari empat bersaudara, dia tahu bahwa bantuan keuangan dari universitas tidak akan terlalu membebani orangtuanya.
“Mendapatkan beasiswa tidaklah mudah karena banyak siswa yang berjuang untuk mendapatkannya dan jumlah beasiswa yang tersedia terbatas,” katanya kepada This Week in Asia, sambil meminta agar hanya nama depannya yang digunakan untuk melindungi identitasnya.
“Saya bekerja sangat keras untuk mendapatkan nilai bagus. Tentu saja itu membuat frustrasi karena [those influencer scholarships] Uangnya bisa membantu siswa lain yang membutuhkan,” ujarnya. “Banyak influencer sudah menghasilkan uang dari iklan dan kesepakatan merek… jadi apakah mereka memerlukan ini?”
Pengguna media sosial mengecam beasiswa influencer karena tidak sejalan dengan apa yang seharusnya dipromosikan oleh universitas.
“Ini tanpa malu-malu memberi tahu dunia bahwa universitas itu hanya soal ketenaran dan uang, bukan mahasiswa yang benar-benar terpelajar dan berbakat,” tulis salah satu pengguna di Reddit, dan banyak yang membandingkan beasiswa ini dengan sebuah episode serial TV fiksi ilmiah distopia. Kaca hitam.
Strategi menyeluruh?
Bulan lalu, pemerintah Indonesia membatalkan rencana yang diusulkan pada bulan Januari untuk menaikkan biaya sekolah di sekolah negeri. Menteri Pendidikan Nadeem Anwar Maharim mengatakan tidak akan ada kenaikan biaya untuk tahun ajaran 2024-2025 menyusul protes pelajar di seluruh negeri.
Peraturan di universitas negeri menyatakan bahwa biaya harus ditetapkan berdasarkan tolok ukur pemerintah dan diuji kemampuannya untuk memastikan bahwa siswa dari keluarga miskin membayar biaya terendah.
Aturan yang sama tidak berlaku untuk institusi swasta, yang menurut Angga, memiliki hambatan masuk yang lebih tinggi bagi siswa yang membutuhkan secara finansial.
“Banyak dari kami, para pendidik, yang menonton [influencer scholarships] Perguruan tinggi swasta sebagai strategi menyeluruh atau menyeluruh untuk menarik minat pelajar, karena di Indonesia sekolah swasta kesulitan mendapatkan pelamar dan sebagian besar pelajar lebih memilih masuk perguruan tinggi negeri yang dianggap lebih bergengsi dan seringkali lebih murah.
Angga mengatakan beasiswa influencer juga dapat berfungsi sebagai alat “pemasaran gratis” untuk meningkatkan visibilitas sekolah-sekolah swasta tersebut.
“Para siswa dengan pengikut media sosial yang besar ini dapat berbagi cerita positif tentang sekolah yang mereka hadiri dan mendorong pengikutnya untuk bersekolah di sekolah yang sama,” ujarnya.
Namun pelajar yang tertarik pada bidang seperti pemasaran, atau mereka yang melihat menjadi influencer sebagai “pekerjaan sampingan”, dapat memanfaatkan beasiswa tersebut untuk mencapai tujuan akademis mereka, kata Angga.
Tahun lalu, Satria Rizki Safiri, seorang remaja influencer dengan lebih dari 200.000 pengikut di TikTok, menerima beasiswa senilai 66 juta rupiah (US$4.000) dari Institut Teknologi Telkom Purwokerto di Purwokerto, Jawa Tengah.
“Di satu sisi menunjukkan bahwa para mahasiswa tersebut memiliki kreativitas dan kepercayaan diri. Namun percaya diri tidak selalu disamakan dengan bakat, apalagi jika para mahasiswa tersebut diterima di program gelar kompetitif,” kata Angga.
“Mungkin universitas-universitas ini sebaiknya memprioritaskan pemberian beasiswa kepada mahasiswa yang berkebutuhan finansial atau yang berasal dari kalangan berpendapatan rendah, karena mahasiswa itulah yang sangat membutuhkannya.”
More Stories
Indonesia mencari kesepakatan perdagangan senilai US$3,5 miliar di Forum Kerja Sama Negara-negara Afrika
Indonesia menangkap seorang pria yang menjual cula badak melalui media sosial
Indonesia akan meningkatkan perlindungan cuaca bandara dengan Vaisala