Badan Arbitrase
Hukum Model UNCITRAL
Apakah Undang-Undang Arbitrase didasarkan pada Hukum Model UNCITRAL?
UU No. terkait Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 30 1999 (UU Arbitrase) tidak didasarkan pada Model Hukum UNCITRAL. Tidak ada proposal resmi untuk mengubah Undang-Undang Arbitrase dan memasukkan ketentuan Model Hukum UNCITRAL. Diskusi seputar subjek ini sebagian besar bersifat akademis.
Perjanjian arbitrase
Apa persyaratan formal untuk perjanjian arbitrase yang dapat dilaksanakan?
Menurut Pasal 1 UU Arbitrase, perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis. Hal ini dapat berupa suatu peraturan arbitrase dalam suatu perjanjian tertulis atau suatu perjanjian tertulis tersendiri untuk diselesaikan oleh arbiter jika majelis arbitrase berakhir setelah timbul sengketa. Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis tersendiri, perjanjian arbitrase dibuat dalam bentuk ikatan yang diaktakan (Pasal 9 (2) UU Arbitrase). Bagian 9 (3) Undang-Undang Arbitrase membebankan persyaratan formal untuk perjanjian tertulis terpisah untuk mediasi.
- Isu dalam isu atau kontroversi;
- nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
- nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
- Dimana arbiter atau majelis arbitrase memutuskan;
- Nama lengkap Sekretaris Pengadilan;
- batas waktu penyelesaian sengketa;
- Pernyataan objektif dari arbiter; Dan
- Pernyataan maksud para pihak yang bersengketa untuk menerima segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui majelis arbitrase.
Kegagalan untuk memenuhi persyaratan formal di atas akan mengakibatkan perjanjian arbitrase tidak sah. Tidak ada persyaratan formal yang serupa sejauh menyangkut aturan arbitrase.
Pilihan arbitrase
Jika Perjanjian Arbitrase dan salah satu ketentuan yang relevan tidak membahas masalah ini, berapa banyak arbiter yang akan ditunjuk dan bagaimana mereka akan ditunjuk? Apakah ada pembatasan hak untuk menantang penunjukan wasit?
Dengan tidak adanya kesepakatan mengenai jumlah dan cara pengangkatan arbiter dalam Perjanjian Arbitrase atau Peraturan Arbitrase, Pasal 13 Undang-Undang Arbitrase mengatur agar Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan menunjuk seorang arbiter atau majelis. Undang-undang Arbitrase mengatur mekanisme default untuk menunjuk seorang arbiter tunggal atau tiga arbiter. Untuk perjanjian arbitrase yang akan diberikan kepada arbiter terpisah, jika para pihak tidak dapat mencalonkan orang tersebut dalam waktu 14 hari sejak penggugat menyatakan perselisihan, ketua pengadilan distrik yang bersangkutan dapat menunjuk seorang arbiter tunggal. Jika perjanjian arbitrase menetapkan tiga arbiter, masing-masing pihak akan menunjuk satu arbiter dan dua arbiter akan menunjuk arbiter ketiga dan kepala. Kegagalan untuk melakukannya dapat mengakibatkan penunjukan arbiter ketiga oleh Ketua Pengadilan Distrik terkait.
Pengangkatan seorang arbiter hanya dapat ditantang dengan keberatan tertulis kepada pihak lain dan arbiter yang bersangkutan dalam waktu 14 hari sejak pengangkatannya. Bagian 22 dari Undang-Undang Arbitrase menetapkan bahwa penunjukan seorang arbiter dapat ditentang berdasarkan alasan yang cukup dan bukti faktual untuk menimbulkan keraguan yang masuk akal tentang independensi atau ketidakberpihakan arbiter. Penunjukan dapat ditentang jika arbiter dapat membuktikan hubungan keluarga, keuangan atau pekerjaan dengan pihak lain atau salah satu pengacaranya. Tidak ada batasan hak untuk menentang penunjukan wasit.
Pilihan wasit
Apa saja pilihan ketika memilih wasit atau arbiter?
Bagian 12 Undang-Undang Arbitrase menetapkan bahwa arbiter harus berusia minimal 35 tahun dan memiliki setidaknya 15 tahun pengalaman di bidang keahliannya. Persyaratan ini telah dikritik karena membatasi jumlah wasit muda yang memenuhi syarat, mengingat ambiguitas kriteria kelayakan dan batas usia minimum. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) memiliki lebih dari 100 arbiter, baik warga negara Indonesia maupun asing.
Prosedur arbitrase
Apakah ada persyaratan dasar dalam hukum domestik untuk prosedur yang harus diikuti?
Bagian 36 dari Undang-Undang Arbitrase, secara default, pengadilan arbitrase menurut hukum Indonesia harus hanya dokumen proses dan dapat dilakukan secara lisan hanya dengan persetujuan para pihak atau sebagai pengadilan dianggap perlu. Bagian 48 dari Undang-Undang Arbitrase memberlakukan jangka waktu 180 hari untuk proses arbitrase, yang dapat diperpanjang sesuai kebutuhan dan dengan persetujuan para pihak. Dengan tidak adanya prosedur yang disepakati, majelis arbitrase akan diatur oleh bagian 38 hingga 48 dari Undang-Undang Arbitrase, yang sering kali mencerminkan praktik pengadilan sipil, tetapi memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi para arbiter.
Intervensi pengadilan
Atas dasar apa pengadilan dapat melakukan intervensi selama arbitrase?
Bagian 11 (2) dari Undang-Undang Arbitrase melarang pengadilan untuk ikut campur dalam setiap sengketa yang tunduk pada perjanjian arbitrase. Meskipun demikian, beberapa pengadilan negeri masih menangani kasus-kasus di bawah perjanjian arbitrase. Ini adalah kasusnya Himpurna Dalam kontroversi pada tahun 1999, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan perintah penahanan untuk menangguhkan kasus arbitrase UNCITRAL yang sedang berlangsung meskipun tidak memiliki yurisdiksi berdasarkan Undang-Undang Arbitrase.
Bantuan sementara
Apakah arbiter memiliki kekuatan untuk memberikan keringanan sementara?
Berdasarkan Pasal 32 (1) Undang-Undang Arbitrase, arbiter memiliki wewenang untuk memberikan keringanan sementara, yaitu mengatur urutan tindakan, termasuk menggabungkan aset, memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga, atau penjualan barang yang mudah rusak. . Namun, Undang-Undang Arbitrase tidak mengatur perintah sementara atau mekanisme penegakan perintah pengadilan untuk keputusan sementara. Oleh karena itu, para pihak tidak dapat meminta pengadilan Indonesia untuk memperoleh atau melaksanakan tindakan tersebut.
Menghadiahkan
Kapan dan dalam bentuk apa penghargaan harus diberikan?
Penghargaan yang diberikan di Indonesia harus dibuat secara tertulis berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang Arbitrase, berjudul ‘Untuk Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Harus ada penghargaan:
- Judul kasus;
- Ringkasan singkat tentang latar belakang kontroversi;
- Kedudukan para pihak;
- nama dan alamat lengkap para arbiter;
- Kewajaran dan keputusan para arbiter sebagai akibat dari suatu perintah atau instruksi tertentu; Dan
- Setiap pendapat yang berbeda.
Kegagalan untuk memenuhi salah satu persyaratan di atas akan mengakibatkan penghargaan tidak diproses.
Menarik
Atas dasar apa putusan dapat diajukan banding di pengadilan?
Penghargaan bersifat final dan mengikat dan tidak akan dikenakan banding, litigasi, atau peninjauan (Bagian 60 dari Undang-Undang Arbitrase). Namun demikian, suatu pihak dapat meminta pengadilan distrik terkait untuk mengesampingkan keputusan berdasarkan pasal 70 dari Undang-Undang Arbitrase (yaitu, surat atau dokumen palsu atau palsu yang diserahkan ke majelis arbitrase, dokumen yang sengaja disembunyikan oleh satu pihak). Putusan demi putusan atau akibat penipuan yang dilakukan oleh salah satu pihak yang bersengketa). Putusan yang diberikan dapat diajukan banding ke Mahkamah Agung, yang akan membuat keputusan akhir.
Pelaksanaan
Bagaimana prosedur pelaksanaan penghargaan asing dan domestik?
Menurut Bagian 59 dari Undang-Undang Arbitrase, penghargaan domestik harus diajukan ke Pengadilan Distrik tempat kediaman Terdakwa dalam waktu 30 hari dan dicari dengan perintah penegakan. Penghargaan, yang ditandatangani oleh ketua pengadilan negeri dengan perintah penegakan, akan dilaksanakan sesuai dengan prosedur untuk menegakkan putusan pengadilan yang final dan mengikat. Pengadilan Indonesia dapat menolak untuk melaksanakan putusan nasional jika perjanjian arbitrase dasar tidak sah atau tidak sah, dan sengketa tidak komersial, dan sengketa tidak dapat diselesaikan secara hukum oleh arbiter (misalnya masalah hukum keluarga dan tindak pidana). Bertentangan dengan kebijakan publik Indonesia (Pasal 62 (2)) UU Arbitrase. Keputusan untuk menolak melaksanakan putusan asing dapat digugat langsung di Mahkamah Agung untuk kasasi.
Pemberlakuan Putusan Asing di Indonesia, Pasal 65 sampai dengan 69 UU Arbitrase dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1990. 1, diatur dalam tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing (PERMA 1/1990). Itu Konferensi New York Di Indonesia. Pelaksanaan putusan asing harus dilanjutkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan putusan pelaksanaan putusan asing tidak dapat diajukan banding atau kasasi. Penegakan penghargaan asing dapat ditolak berdasarkan Bagian 66 dari Undang-Undang Arbitrase:
- Diberikan di negara yang tidak terikat oleh perjanjian bilateral atau multilateral yang berkaitan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dengan Indonesia;
- Tidak termasuk dalam lingkup hukum bisnis menurut hukum Indonesia; Atau
- Bertentangan dengan kebijakan umum Indonesia.
Selain itu, pengadilan Indonesia telah secara langsung menggunakan alasan untuk menolak pelaksanaan sebagaimana diatur dalam Pasal V Konferensi New York, tetapi tidak dapat mengidentifikasi pendekatan yang konsisten yang diambil oleh pengadilan Indonesia dalam menangani masalah yang dirujuk di dalamnya. Misalnya, pengadilan Indonesia cenderung menggunakan hukum Indonesia daripada melihat hukum kursi dalam menilai hak pihak untuk mengajukan kasusnya dan dalam menilai apakah ada malpraktik selama proses penegakan hukum. Di Trading Corporation of Pakistan Limited v PT Bakri & Brothers (Perkara No. 64 / Pdt / G / 1984 / PN.Jkt.Sel), Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak untuk melaksanakan putusan yang dijatuhkan di London, dengan alasan bahwa pengadilan telah gagal mengadili kedua belah pihak secara memadai menurut hukum Indonesia. . Pengadilan Indonesia membuat penilaian serupa ketika menolak penegakan dengan alasan melanggar kebijakan publik Indonesia berdasarkan Pasal V (2) (b) Konferensi New York. Satu-satunya definisi kebijakan publik Indonesia terdapat dalam Pasal 4 (2) PERMA 1/1990, yang menyatakan bahwa ‘a. Hasil Di Indonesia (ketertiban umum) putusan (penegakan hukum) tidak akan dikeluarkan jika putusan tersebut melanggar prinsip-prinsip dasar seluruh sistem hukum dan masyarakat.’ Definisi yang luas dari kebijakan publik Indonesia ini merupakan salah satu alasan penolakannya untuk menegakkan di bawah Pasal V (2) (b) Konferensi New York inkonsistensinya dengan ketentuan wajib hukum Indonesia atau kepentingan nasional Indonesia. Dalam praktiknya, definisi ini berarti melanggar kebijakan publik (misalnya, melanggar hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia) untuk pengadilan Indonesia, merugikan kepentingan nasional (misalnya merugikan perekonomian nasional) atau melanggar kedaulatan Indonesia.
Biaya
Bisakah pesta yang sukses menutup biayanya?
Indonesia saat ini tidak memiliki aturan mengenai cost recovery atau pendanaan pihak ketiga untuk arbitrase. Aturan BANI diam tentang hal ini. Mereka dapat diatur oleh aturan arbitrase yang dipilih oleh para pihak.
More Stories
Indonesia mencari kesepakatan perdagangan senilai US$3,5 miliar di Forum Kerja Sama Negara-negara Afrika
Indonesia menangkap seorang pria yang menjual cula badak melalui media sosial
Indonesia akan meningkatkan perlindungan cuaca bandara dengan Vaisala