Desember 24, 2024

Review Bekasi

Temukan Berita & berita utama terbaru tentang INDONESIA. Dapatkan informasi lebih lanjut tentang INDONESIA

Mengurangi kesenjangan antara akademisi dan kelas kebijakan di Indonesia

Pada tahun 2015, Asit Pivas, seorang profesor kebijakan publik di Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew di Universitas Nasional Singapura, dan Julian Kircher, seorang peneliti di Universitas Oxford, menulis komentar yang menggugah pikiran. The Straits Times Di bawah judul “Profesor, tidak ada yang membaca Anda.”

Artikel tersebut memberikan perspektif baru tentang bagaimana pendidik harus berpikir tentang diri mereka sendiri dan peran mereka dalam mengubah masyarakat. Dalam artikel tersebut, para akademisi berpendapat bahwa banyak ide cemerlang tidak berdampak signifikan pada debat publik dan pembuatan kebijakan.

Hal ini karena pendidik berbagi pemikiran mereka hanya dalam jurnal akademik yang hanya dibaca oleh rekan-rekan akademik mereka. Keduanya menunjukkan bahwa rata-rata artikel surat kabar cerdas hanya dibaca oleh sekitar 10 orang, yang tidak mengubah masyarakat. Oleh karena itu, agar lebih berdampak, akademisi perlu menulis lebih banyak komentar yang dapat dibaca oleh pembuat kebijakan dan masyarakat umum sehingga dapat mempengaruhi wacana publik atau bahkan pembuat kebijakan.

Hal ini menimbulkan pertanyaan yang lebih luas tentang sejauh mana karya-karya akademisi relevan dengan masalah dunia nyata saat ini, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial di Indonesia.

Setidaknya ada tiga cara agar dunia akademik dan akademisi, khususnya ilmu-ilmu sosial, lebih relevan untuk menjawab tantangan Indonesia.

Pertama, seperti yang dikatakan Profesor Harold Coe, profesor sekolah hukum Yale dan mantan penasihat hukum Departemen Amerika Serikat, penting bagi seorang pendidik untuk memiliki pengalaman praktis waktu nyata sebagai pembuat keputusan utama. Pemerintah. Jadi, mereka memiliki beberapa ide tentang topik apa yang mungkin penting dan relevan bagi siswa yang akan praktik nanti.

Dia mencontohkan betapa banyak akademisi di Amerika Serikat telah menjadi pejabat tinggi pemerintah. Ini membentuk tidak hanya kelas kebijakan yang dibenarkan secara akademis, tetapi juga teori dalam dunia pendidikan.

Bahkan, banyak menteri dan pejabat tinggi di pemerintahan AS yang berlatar belakang akademisi. Joseph Ney, Ann Marie Slaughter, Janet Yellen dan Henry Kissinger hanyalah beberapa di antaranya. Mereka menjabat sebagai pejabat tinggi pemerintah dengan kredensial akademis yang kuat.

Setelah menerima jabatan di pemerintahan, mereka kembali mengajar dan meningkatkan karya intelektualnya berdasarkan pengalaman sebagai pejabat pemerintah. Pengalaman tersebut kemudian membentuk karya pendidikan mereka, tidak hanya berdasarkan teori yang relevan dengan masalah dunia nyata dan sulit untuk diterapkan.

Mengikuti mandat baru di bawah Suharto (1967-1998), Indonesia memiliki tradisi yang kuat dari pendidik dan guru besar yang menjabat sebagai menteri dan pejabat tinggi.

Dengan demokrasi yang kurang dan hampir tidak ada aliansi partai, Sukardo memiliki kebebasan untuk memilih menteri. Oleh karena itu, posisi pengambilan keputusan kunci diberikan kepada teknisi dan akademisi dengan kredensial di lapangan.

Hari ini, berkat demokratisasi, banyak partai politik dan aliansi telah memaksa presiden untuk memiliki politisi sebagai menteri dan pejabat tinggi, kadang-kadang dengan catatan profesional dan keahlian yang minim.

Oleh karena itu, lebih sedikit profesional di bidang khusus, termasuk akademisi, yang duduk sebagai menteri di pemerintahan.

Kedua, seperti yang dikatakan Biwas dan Kirchherr dalam opininya, semakin banyak ilmuwan sosial Indonesia yang perlu berbagi pandangannya di jurnal akademik di luar rekan akademiknya. Mereka harus mencari audiens yang lebih luas dan mempublikasikan penelitian mereka di media yang paling populer, yang harus dibaca oleh publik dan pembuat kebijakan yang lebih luas.

Saat ini, semakin banyak outlet penjualan online untuk berbagi pengetahuan dengan khalayak umum yang lebih luas. Dengan berbagi pandangan dengan massa luas, mereka akan memenuhi kewajiban mereka untuk mencerdaskan bangsa.

Ketiga, dunia pendidikan Indonesia harus menghormati sejumlah kajian menengah yang penting dalam menghadapi isu-isu global saat ini.

Di dunia yang dinamis ini, sebagian besar masalah tidak dapat diselesaikan oleh satu bidang akademik. Banyak masalah dan tantangan paling baik diselesaikan melalui kolaborasi dan perspektif perantara.

Epidemi, misalnya, adalah masalah yang melibatkan profesional kesehatan, kebijakan publik, ekonomi, masyarakat, hukum, dan banyak bidang lainnya. Masalah lain, seperti keamanan dunia maya, teknologi, kesehatan global, dan gender, hanyalah beberapa dari masalah yang membutuhkan lebih dari satu disiplin untuk ditangani.

Oleh karena itu, diperlukan seseorang yang akrab dengan pendekatan atau sekolah menengah ini untuk mengakomodasi studi serbaguna ini. Di banyak negara maju, seperti Amerika Serikat, para sarjana dengan pendidikan moral yang berbeda sangat dihargai karena memberi mereka pemahaman yang lebih baik tentang masalah tertentu.

Misalnya, seseorang dengan gelar sarjana hukum dan PhD dalam kesehatan global akan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang pengaturan masalah kesehatan masyarakat. Atau seseorang dengan gelar sarjana hukum dan ilmu komputer dengan pemahaman yang baik tentang keamanan siber dan perlindungan data pribadi. Mari kita asumsikan bahwa Indonesia mempertahankan pandangan tradisional tentang disiplin pendidikan linier ini. Sarjana Indonesia akan kalah bersaing secara internasional dan akan semakin sulit bagi civitas akademika untuk mengatasi tantangan masa depan yang dihadapi negara.

Apalagi Indonesia juga tertinggal jauh dalam hal keragaman sekolah pascasarjana. Sekali lagi, ada banyak sekolah pascasarjana dari berbagai disiplin ilmu, bahkan di banyak negara maju, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Singapura. Sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia masih memiliki sistem pengajaran tradisional. Di dalam negeri, Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, Fakultas Kedokteran, dan Fakultas Ilmu Politik dan Sosial masih sangat terpecah dan jarang berbicara satu sama lain dan bekerja sama.

Kebijakan Kompas Merdeka (Kampus Gratis) Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi saat ini memungkinkan siswa dari sekolah atau departemen yang berbeda untuk mengambil kelas, yang merupakan awal yang baik untuk menjembatani kesenjangan antara sistem pendidikan menengah. Tapi tentu saja, jalan masih panjang. Penting bagi komunitas pendidikan Indonesia, khususnya ilmu-ilmu sosial, untuk berkontribusi dalam pengembangan diskusi dan kebijakan kebijakan publik di Indonesia guna menjawab isu-isu global saat ini dan masa depan serta menjadikan pendidik lebih relevan. – Jakarta Post / ANN