Anggota parlemen di Asia Tenggara menyerukan kepada pemerintah Indonesia dan negara-negara lain di kawasan ini untuk lebih serius memperhatikan dampak operasi pertambangan terhadap lingkungan dan masyarakat adat di tengah booming industri nikel.
Seiring dengan peralihan dunia dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan, mineral tanah jarang seperti nikel merupakan komponen kunci perangkat yang mendukung transisi energi.
Nikel, salah satu komponen utama baterai kendaraan listrik (EV), dikatakan lebih bersih dibandingkan mesin pembakaran internal (ICE), telah menjadi “minyak” baru, khususnya di Asia Tenggara. Pemasok utama mineral tanah jarang.
Menurut perusahaan konsultan Global Data, Indonesia berada di peringkat dunia Produsen nikel terbesar Cadangannya mencapai 21 juta ton atau 20 persen dari total cadangan global. Negara ini diproyeksikan memproduksi 1,7 juta ton pada tahun 2022. Produsen dan eksportir nikel lainnya di Asia Tenggara adalah Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Thailand.
Namun melonjaknya produksi nikel dalam beberapa tahun terakhir telah mengorbankan lingkungan dan masyarakat adat, sehingga mendorong para anggota parlemen di Asia Tenggara untuk memperingatkan para pembuat kebijakan di Indonesia agar secara serius memperhatikan risiko dan menyeimbangkan tujuan antara transisi energi dan perlindungan hutan yang tersisa di wilayah tersebut.
Peringatan tersebut disampaikan dalam sidang parlemen internasional mengenai perubahan iklim di Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh Anggota Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) di Kompleks Legislatif Senayan, Jakarta, Senin.
Baca Juga: Sistem Pengawasan Baru Cegah Penipuan di Tambang Nikel dan Timah
More Stories
Indonesia mencari kesepakatan perdagangan senilai US$3,5 miliar di Forum Kerja Sama Negara-negara Afrika
Indonesia menangkap seorang pria yang menjual cula badak melalui media sosial
Indonesia akan meningkatkan perlindungan cuaca bandara dengan Vaisala