Ketika tiga remaja Indonesia membentuk band metal 10 tahun yang lalu untuk bernyanyi tentang kesetaraan gender dan perdamaian dengan gitar dan drum yang menghancurkan tulang, mereka tidak pernah bermimpi suatu hari nanti bisa bermain di Glastonbury.
Namun, satu dekade kemudian, tiga wanita Muslim dari Voice of Baceprot akan menjadi band pertama asal Indonesia yang tampil di festival terkenal dunia di Inggris minggu ini, bersama Coldplay dan Dua Lipa.
Penampilan mereka akan menandai sorotan terbaru dari Wild Life karena Firda Gurnia (gitar dan vokal), Widi Rahmawati (bass) dan Uis Siti Isa (drum) telah mengumpulkan basis penggemar yang besar sambil menantang stereotip gender dalam masyarakat Indonesia yang didominasi laki-laki.
“Sejujurnya, Glastonbury tidak ada dalam daftar keinginan kami karena kami merasa itu adalah mimpi yang terlalu besar,” kata Ewes yang berusia 24 tahun. AFP.
“(Saya) setengah tidak percaya. Itu sebabnya kami terus memeriksa apakah itu Glastonbury resmi atau ada yang mengerjai kami.”
Suara Basebrot bermula dari awal yang sederhana di sebuah desa dekat kota Garut, Jawa Barat.
Kata “basebrot” berarti kebisingan dalam bahasa Sunda, bahasa tradisional Indonesia – dan menarik perhatian penggemar dengan arti aslinya.
Perhatian internasional yang luas pun menyusul, termasuk penghargaan dari beberapa superstar. Bassis Red Hot Chili Peppers, Blay, pernah men-tweet bahwa dia “sangat kecewa dengan suara Bassprot.”
Walaupun grup ini sebelumnya pernah tampil di AS dan Eropa – termasuk festival metal Wacken yang terkenal di Jerman – namun ada ketegangan menjelang Glastonbury.
“Semoga kegugupan saya menjadi pengingat bagi saya untuk lebih bersiap,” kata Ewis.
Kelompok Muslim konservatif di Indonesia mengkritik band ini karena berjenis kelamin perempuan dan pakaian mereka tidak pantas.
Tapi Voice of Baceprot tetap berpegang pada keyakinan mereka dan membalas melalui musik mereka.
Lagu hit terbesar mereka – “God, Let Me (Please) Play Music” – telah diputar jutaan kali di YouTube dan Spotify dan menyasar pengunjuk rasa konservatif yang mengatakan perempuan tidak boleh memainkan musik seperti itu.
Band ini juga menulis lagu tentang perubahan iklim dan hak-hak perempuan.
“Kami menciptakan lagu berdasarkan apa yang kami lihat, dengar, baca, dan alami,” kata Firda.
Kebangkitan grup ini membawa risiko yang tidak mereka antisipasi: penggemar “gila” yang tertarik pada setiap aspek kehidupan mereka.
Beberapa telah pergi ke rumah mereka untuk mencoba bertemu dengan mereka.
“Kami seperti: ‘Yah, mungkin ini adalah salah satu bahaya pekerjaan ini.’ Keluarga kami terkadang bingung,” kata Firda, 24 tahun.
Setelah dibentuk pada tahun 2014, Voice of Baceprot mengadakan festival kecil di sekitar Jawa Barat, salah satu provinsi paling konservatif di Indonesia.
Kemudian mereka pindah ke ibu kota Jakarta dan juga menggelar konser online di masa pandemi Covid.
Kemudian mereka kembali ke kampung halaman, dimana mereka membangun studio sendiri.
Vidy mengatakan band ini memiliki “banyak” kesempatan untuk tampil di luar negeri.
Namun saat mereka bersiap untuk memainkan pertunjukan terbesar dalam hidup mereka di Worthy Farm yang terkenal di Inggris Barat Daya, Voice of Basebroth mengatakan salah satu impian mereka berakar di rumah.
“Kami sangat ingin berkeliling Indonesia,” kata Widi. “Tapi kami belum punya peluang.”
More Stories
Indonesia mencari kesepakatan perdagangan senilai US$3,5 miliar di Forum Kerja Sama Negara-negara Afrika
Indonesia menangkap seorang pria yang menjual cula badak melalui media sosial
Indonesia akan meningkatkan perlindungan cuaca bandara dengan Vaisala