Ketika Natal tiba, itu adalah acara tahunan bagi umat Islam di Indonesia untuk berdiskusi di antara mereka sendiri apakah mereka akan berpartisipasi atau mengucapkan selamat kepada saudara sebangsa mereka yang beragama Kristen pada hari raya tersebut.
Umat Islam Indonesia pada umumnya terbagi menjadi tiga kelompok dalam hal ini. Pertama adalah kaum konservatif yang dengan sepenuh hati menolaknya, kedua adalah kaum liberal yang mengambil posisi berlawanan, dan ketiga adalah kaum moderat yang terbagi antara berpartisipasi dalam perayaan dan mengharapkan perayaan yang bahagia bagi umat Kristiani. Kelompok terakhir tampaknya lebih rasional dan dapat diterima dalam konteks Indonesia.
Posisi konservatif tampak aneh dan canggung dalam banyak hal. Pertama, keteladanan Nabi Suci Muhammad menunjukkan bahwa pada kesempatan tertentu beliau berinteraksi dengan umat Kristiani dengan cara yang sangat hormat. Dalam tradisi kenabian, Nabi dikatakan telah menerima delegasi Kristen dari Najran, di mana dia menghadirkan mereka di dalam masjid. Dan ketika tiba waktunya untuk sholat, dia mengizinkan mereka untuk berdoa di dalamnya.
Kedua, atas dasar moral dan sosial, posisi konservatif sebagian besar bernuansa rasis dan apologetik. Yang benar adalah bahwa apa yang mereka katakan dan ungkapkan tentang Natal khususnya dan orang Kristen pada umumnya telah menghalangi komunikasi yang lebih baik antara orang-orang yang berbeda agama. Mereka yang memiliki identitas nasional yang sama harus melindungi ikatan persaudaraan mereka dengan cara terbaik, terlepas dari perbedaan keyakinan dan keyakinan agama.
Pandangan konservatif ini mencerminkan gagasan bahwa orang Kristen bukanlah bagian dari komunitas Muslim yang lebih besar, seolah-olah ada permusuhan di antara kedua belah pihak. Gagasan seperti itu hanya relevan pada saat perang dan invasi.
Perlu dicatat bahwa salah satu cendekiawan Muslim terkemuka yang mendukung posisi kontroversial tersebut adalah teolog abad ke-14, Ibnu Taimiyyah. Dalam banyak tulisannya, dia sering menyerang segala bentuk kerjasama Muslim dengan Yahudi, Kristen, dan non-Muslim lainnya untuk mempertahankan visi masyarakat Islam ideal yang telah dibangunnya. Karena konflik antara Muslim dan non-Muslim saat itu, ia mengembangkan wacana yang menganggap semua non-Muslim sebagai musuh.
Konstruksi seperti itu sudah tidak sesuai lagi dengan konteks Indonesia kita, di mana tidak terbayangkan menganggap saudara sebangsa kita yang beragama Kristen sebagai orang perang. Sebaliknya, yang logis adalah memperlakukan mereka seperti orang lain, seperti tetangga biasa. Mereka juga nasionalis yang siap melindungi kepentingan nasional kita. Fakta bahwa tidak ada permusuhan antara Muslim dan non-Muslim di negeri ini berarti bahwa umat Kristiani adalah sahabat dan saudara yang harus diperlakukan sebagai warga negara yang setara.
Teladan Nabi di atas harus diambil sebagai kebenaran yang tak terbantahkan bahwa di masa biasa, umat Islam harus memperlakukan non-Muslim secara manusiawi sebagai orang asing, tamu, tamu atau tetangga, mayoritas atau minoritas. Lagi pula, Al-Qur’an melarang umat Islam menyembah tuhan-tuhan mereka. Kelas Kristen tidak dilarang berbagi hari libur.
Meskipun agama pada dasarnya adalah iman dan kepercayaan kepada Tuhan, namun dalam interaksi sosial, rasa kemanusiaan, bukan Muslim, Kristen dan sebagainya, adalah fondasi untuk membangun pemahaman yang lebih baik. Saling memberi selamat pada festival terpenting adalah langkah penting menuju tujuan itu. Mengabaikan hari raya keagamaan tetangga kita berarti membangun pagar besar yang mengasingkan mereka dan pada akhirnya menghambat persatuan di antara kita.
Festival keagamaan adalah waktu untuk gencatan senjata dan persahabatan. Ini juga berlaku untuk agama yang berbeda. Idealnya, itu dapat digunakan secara maksimal untuk membantu kita mencari ke dalam, menemukan alasan kesalahan kita, dan menyingkirkan gejala dosa kita. Karena kemampuan untuk mengenali perbedaan adalah wajar dan perlu bagi kita semua, dapat diterima untuk berasumsi bahwa festival agama tertentu adalah hadiah bagi orang lain.
Menghormati hari raya keagamaan lainnya adalah bagian dari seruan itu untuk membangun persaudaraan dan mewujudkan cita-cita kemanusiaan kita. Humanisme ideal mengidealkan persatuan dan menjunjung tinggi kesepakatan di atas perselisihan.
Namun, mengingat sifat masyarakat Indonesia yang konservatif, berpartisipasi dalam Natal dengan menghadiri kebaktian gereja, membeli pohon Natal dan memberikannya kepada teman-teman Kristen, serta berpartisipasi dalam pesta panggang juga tidak dianjurkan. Upaya liberal untuk mempromosikan ini tidak realistis. Di Indonesia yang sensitif terhadap isu agama, sangat disarankan untuk menghindari perilaku kontroversial.
Oleh karena itu, yang terbaik bagi umat Islam adalah menyambut sesama umat Kristiani dengan tangan dan hati terbuka dan mendoakan mereka hidup yang baik dan selamat Natal tanpa terlibat dalam perayaan mereka. – Jakarta Post/Asia News Network
Abdul Qadir Riyadi adalah Guru Besar Studi Islam di Universitas Islam Negeri Surabaya. Pandangan yang diungkapkan di sini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan pandangan Sunday Star.
More Stories
Indonesia mencari kesepakatan perdagangan senilai US$3,5 miliar di Forum Kerja Sama Negara-negara Afrika
Indonesia menangkap seorang pria yang menjual cula badak melalui media sosial
Indonesia akan meningkatkan perlindungan cuaca bandara dengan Vaisala