Pemindahan ibu kota Indonesia akan membawa perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Kalimantan, dengan risiko dan peluang yang besar.
Seperti yang telah dibahas pada artikel sebelumnya, ledakan penduduk akibat pemindahan ibu kota akan membawa berbagai tantangan lingkungan ke pulau terbesar ketiga di dunia itu. Diantaranya, mengelola dan memenuhi permintaan energi baru akan menjadi isu utama. Karena Nusantara berada tepat di jantung batu bara, iming-iming tenaga batu bara murah sekali lagi mendorong Indonesia ke persimpangan jalan yang sama – berpegang teguh pada komitmen iklimnya atau (kembali) merangkul energi kotor.
Sepanjang tahun 2010, dunia terus bergerak menuju energi bersih, mitigasi perubahan iklim, dan pembangunan berkelanjutan. Namun, peristiwa seperti pandemi Covid, konflik AS-China, dan perang Rusia-Ukraina telah menempatkan dunia dalam suasana pesimis, dengan banyak negara menunjukkan kecenderungan untuk mengadopsi proteksionisme.
Indonesia tidak terkecuali. Sementara Indonesia sebelumnya telah menunjukkan kepada dunia tekadnya untuk mengatasi masalah lingkungan dan iklim, strategi pembangunannya saat ini telah membuktikan sebaliknya. Sejak terpilih kembali, Presiden Joko Widodo telah merumuskan sejumlah kebijakan yang tidak dapat dijelaskan dan kontradiktif yang mencerminkan penyesuaian berkelanjutan negara terhadap lintasan pembangunannya. Meski Presiden berulang kali menekankan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi dalam pidatonya, pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara di dalam negeri tetap berjalan lancar.
Kontradiksi ini dapat disingkapkan lebih lanjut dalam pembangunan ibu kota baru. Ambisi Nusantara untuk menjadi kota hijau menghadapi beberapa kendala struktural. Selain biaya energi terbarukan yang relatif tinggi, masalah yang paling mendasar adalah pengaruh politik oligarki batubara yang mengakar dan terus-menerus. Patut dicatat bahwa di antara berbagai kelompok kepentingan di belakang banyak politisi terkemuka, industri pertambangan batu bara menempati posisi sentral.
Bagian modal asing
Dengan latar belakang ini, modal asing dapat memainkan peran kunci dalam menentukan lintasan pertumbuhan Nusantara. Biaya pembangunan ibu kota baru diperkirakan mencapai US$35 miliar. Indonesia tidak bisa membelinya sendiri. Selain itu, negara juga akan membutuhkan dukungan teknis yang luas untuk melaksanakan proyek ambisius ini. Modal asing dan teknologi akan menjadi kuncinya.
Selain mitra perdagangan dan investasi lama Indonesia seperti Singapura, Jepang, Uni Eropa dan Malaysia, Cina secara bertahap muncul sebagai salah satu investor terpenting selama dekade terakhir. Selain itu, investasi Korea Selatan di Indonesia telah meningkat selama dua tahun terakhir, mengungguli Jepang dan Uni Eropa.
Secara khusus, pembiayaan dari China, Jepang dan Korea Selatan sangat mempengaruhi preferensi energi ibu kota baru Indonesia. Pada tahun 2010-an, dana publik dari ketiga negara tersebut menyumbang 95 persen dari investasi publik global dalam proyek pembangkit listrik tenaga batu bara asing. Sementara proyek-proyek ini secara efektif mengatasi kemiskinan energi di banyak negara berkembang, ketiga negara tersebut dituduh memicu perubahan iklim. Di Indonesia, pemodal dari Jepang dan China adalah investor asing terbesar di batu bara (lihat gambar dari GEM).
China, Jepang, dan Korea Selatan secara berturut-turut mengumumkan bahwa mereka akan menghentikan investasi publik dalam pembangkit listrik tenaga batu bara asing mulai tahun 2021 karena tren penghapusan batu bara semakin cepat. China mengatakan di Majelis Umum PBB ke-76 bahwa investasinya akan fokus untuk mendukung negara-negara berkembang. Untuk menggunakan energi terbarukan yang berkelanjutan.
Pertumbuhan pesat Indonesia di era pasca-Sukarto adalah hasil dari investasi asing besar-besaran. Tak dapat disangkal, modal asing ini mengincar sumber daya Indonesia yang melimpah dan tenaga kerja yang murah. Namun, dalam beberapa tahun terakhir perubahan iklim yang semakin terlihat, serta berbagai masalah ketenagakerjaan dan hak asasi manusia, dan dalam menghadapi tekanan besar dari para ilmuwan, masyarakat sipil dan masyarakat umum, mengintegrasikan tanggung jawab iklim dan pembangunan berkelanjutan ke dalam strategi investasi telah menjadi arus utama. .
Dalam hal tata kelola global, pemerintah mulai memantau dan mengarahkan aliran dana secara ketat, memaksa perusahaan untuk mengungkapkan emisi gas rumah kaca, dampak lingkungan, dan dampak sosial yang terkait dengan investasi mereka. Malaysia juga berusaha mengejar. Selama beberapa tahun terakhir, ‘Lingkungan, Sosial dan Tata Kelola’ (ESG) telah menjadi kata kunci yang sering muncul di berbagai platform bisnis dan investasi.
Sistem penilaian seperti berbagai indeks hijau telah muncul untuk menilai risiko terkait LST. Bagi organisasi, mereka harus menghadapi risiko transisi seperti perubahan model operasi yang disebabkan oleh perubahan kebijakan dan perubahan sosial dan ekonomi, serta risiko fisik yang disebabkan oleh kegagalan menjaga keberlanjutan, seperti peningkatan kejadian banjir akibat perubahan iklim. Keresahan sosial yang dipicu oleh perusakan dan pencemaran lingkungan. Bagi investor, mengurangi risiko ini dengan berinvestasi secara strategis dalam proyek pertumbuhan berkelanjutan telah menjadi pertimbangan utama.
investasi asing cina
Untuk negara-negara besar, masih ada lapisan pertimbangan geopolitik. Bisa dibilang, arus investasi China paling menarik perhatian. Perusahaan Cina sering terkait erat atau dikendalikan oleh pemerintah Cina. Aliran dan dampak uang China, baik atau buruk, pasti terkait dengan kebijakan nasional China.
Investasi Cina berperan dalam pembangunan Nusantara. Contohnya adalah pabrik semen 10 juta ton di dekat ibu kota baru. Total investasi sebesar USD 1 miliar berasal dari Grup Semen China Zhejiang Hongshi. Dengan nyaman, pabrik semen dapat memasok bahan bangunan yang dibutuhkan untuk ibu kota baru.
Berbagai proyek infrastruktur yang didukung China, seperti terminal kargo dan jalan, akan menyertainya. Selain pembiayaan, pihak China juga berpartisipasi sebagai kontraktor dan menyediakan teknologi dan tenaga kerja.
Kita harus mencatat bahwa produksi semen adalah salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar, menyumbang 7-8 persen emisi antropogenik global dalam beberapa tahun terakhir. Pabrik semen mengkonsumsi energi dalam jumlah besar, dan sumber energi utama dalam industri semen adalah batu bara. Ketergantungan batubara ini dengan rapi menjelaskan mengapa pabrik semen skala besar di Indonesia terletak di pedalaman batubara.
Diperlukan perencanaan yang matang
Dan mengingat risiko penguncian batu bara, negara harus sangat berhati-hati dalam menerapkan rencana pemindahan ibu kota. Pertama, di tingkat politik lokal, para pemimpin harus lebih berhati-hati dalam menghadapi pengaruh pelobi batu bara. Sementara itu, negara perlu memperkuat kepercayaan investor asing terhadap energi bersih dengan mengembangkan kebijakan energi yang tepat dengan penegakan dan transparansi yang kuat. Alternatif yang menggabungkan energi terbarukan dan kebutuhan pembangunan lokal, seperti pembakaran bersama biomassa, dapat diprioritaskan untuk memanfaatkan sumber daya dari sektor pertanian dan kehutanan lokal.
Tantangan membangun ibu kota baru adalah mikrokosmos periode kedua Jokowi sebagai presiden. Bagaimana menyeimbangkan komitmen iklim negara, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik akan terus menguji tidak hanya kebijaksanaan mereka yang berkuasa, tetapi juga kesediaan mereka untuk menolak energi berkelanjutan dan kepentingan politik mendasar.
Dr. Ko Chun Sheng adalah peneliti di Sunway University dan Harvard University. Minat penelitiannya terletak pada persimpangan pembangunan bio-ekonomi dan restorasi ekosistem, dengan fokus khusus pada Kalimantan Malaysia dan Indonesia.
“Penggemar budaya pop. Pengacau ramah hipster. Pakar media sosial yang menawan.”
More Stories
Indonesia mencari kesepakatan perdagangan senilai US$3,5 miliar di Forum Kerja Sama Negara-negara Afrika
Indonesia menangkap seorang pria yang menjual cula badak melalui media sosial
Indonesia akan meningkatkan perlindungan cuaca bandara dengan Vaisala