Sekitar 34 juta orang tinggal di Wilayah Metropolitan Jabodetabek dan kota-kota satelitnya, menjadikannya salah satu aglomerasi perkotaan terbesar di dunia. Kota ini adalah contoh utama kesulitan yang dihadapi wilayah metropolitan modern; Hal ini ditandai dengan kemacetan lalu lintas yang parah, tingginya tingkat polusi udara, berkurangnya ruang hijau dan kenaikan harga layanan penting.
Seperti banyak kota besar di Asia seperti Mumbai dan Bangkok, kota ini menyoroti kesenjangan sosial antara daerah kumuh dan gedung-gedung tinggi. Jakarta, ibu kota negara dan pusat perdagangan dan perdagangan yang penting, telah mencapai daya dukungnya dan mengalami pertumbuhan yang tidak berkelanjutan seiring berjalannya waktu.
Proklamasi presiden yang menguraikan niat Indonesia untuk memindahkan ibu kota Indonesia ke “Nusantara” di pulau Kalimantan bagian Indonesia, yang dikenal sebagai Kalimantan, dikeluarkan pada awal tahun 2023 dengan mempertimbangkan kesulitan-kesulitan tersebut. Presiden Joko Widodo pertama kali mengumumkan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Nusantara pada tahun 2019.
Dalam upaya melindungi kawasan alam dan habitat, pesatnya urbanisasi di Nusantara telah menjadi tantangan etika yang besar bagi para pembuat kebijakan di Indonesia. Urbanisasi biasanya mengacu pada pergeseran dari masa lalu yang berarti hilangnya lingkungan, habitat, warisan dan tradisi dalam hal perencanaan kota dan pembangunan infrastruktur.
Hal ini sesuai dengan tren global yang dalam beberapa tahun terakhir beralih ke teknik desain perkotaan yang lebih manusiawi dan detail. Putrajaya di Malaysia, Sejong di Korea Selatan dan Astana di Kazakhstan memberikan contoh yang baik mengenai pendekatan berkelanjutan. Nusantara, yang diumumkan sebagai ibu kota baru Indonesia, menghadapi dilema dan tantangan serupa dalam mewujudkan pembangunan perkotaan berkelanjutan yang selaras dengan alam. Tantangan bagi pemerintah Indonesia adalah membangun ibu kota baru tanpa merusak lingkungan; Tujuan mereka adalah menciptakan lingkungan perkotaan berkelanjutan yang hidup berdampingan secara damai dengan alam.
Pengembangan Nusantara sebagai kota berkelanjutan memerlukan perencanaan yang matang untuk meminimalkan dampak lingkungan. Tugas ini sangat besar karena seluruh perangkat administrasi di Jakarta akan dipindahkan ke ibu kota baru, yang mungkin juga akan menimbulkan tantangan lalu lintas perkotaan dan perumahan. Untuk mengurangi emisi karbon dan memitigasi dampak perubahan iklim, penting untuk melestarikan ruang hijau, mengadopsi sumber energi terbarukan, dan mengembangkan sistem transportasi ramah lingkungan. Kegiatan-kegiatan ini tidak hanya memberikan manfaat bagi penduduk perkotaan tetapi juga masyarakat global.
Berkat kebangkitan Nusantara kini ada lebih banyak peluang untuk kemajuan sosial dan ekonomi. Perumahan modern, sekolah, rumah sakit, dan kawasan komersial merupakan contoh pembangunan infrastruktur yang dapat meningkatkan taraf hidup dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, sehingga menghasilkan masyarakat yang lebih sejahtera dan berkeadilan.
Upaya untuk melestarikan dan mempromosikan warisan budaya kota baru memastikan bahwa norma-norma selalu menjadi bagian penting dari desain kota dan tidak hilang dalam proses urbanisasi yang pesat. Komunitas dan adat istiadat pada awalnya mungkin akan tercerabut akibat urbanisasi, meskipun dampak-dampak ini dapat dikurangi melalui langkah-langkah tertentu. Dengan memprioritaskan konservasi keanekaragaman hayati melalui koridor hijau, kawasan lindung, dan praktik penggunaan lahan berkelanjutan, perencanaan kota berkelanjutan di Nusantara akan membantu melestarikan keanekaragaman hayati unik Indonesia.
Manfaat jangka panjang dari menciptakan kota sadar lingkungan seperti Nusantara, yang memprioritaskan kelestarian lingkungan, inklusi sosial, pembangunan ekonomi dan pelestarian budaya, lebih besar daripada kesulitan dan konsekuensi yang ada. Selain itu, dengan berbagi pengalaman dengan para perencana kota lokal dan global di masa depan, pembangunan di Nusantara akan menjadi model bagi kota-kota lain untuk memprioritaskan keberlanjutan, inklusi, dan komunitas yang dinamis dalam jalur pembangunan mereka.
Meskipun demikian, jelas pula bahwa pembangunan Nusantara pasti akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat setempat, beberapa di antaranya mungkin akan tercerabut dan kehilangan tempat tinggal aslinya. Selain menyebabkan keresahan sosial, hilangnya pekerjaan dan kerusakan budaya, perpindahan ini juga dapat membahayakan kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak.
Kita harus menyadari bahwa dampak umum dari meningkatnya urbanisasi mencakup eksploitasi sumber daya, polusi, fragmentasi habitat, dan penggundulan hutan. Hal ini membahayakan keanekaragaman hayati dan mengganggu fungsi ekologi penting bagi kesejahteraan manusia. Begitu pula dengan Nusantara yang hingga saat ini dikatakan 65% hutan dan 35% kota.
Ada kesulitan nyata dalam mengurangi dampak buruk ini dalam jangka panjang. Proyek Nusantara ditargetkan selesai pada tahun 2045. Memprioritaskan strategi berbasis ekosistem yang bertentangan dengan alam adalah penting untuk pembangunan berkelanjutan. Hal ini termasuk melindungi dan merehabilitasi lingkungan alam, membangun infrastruktur ramah lingkungan, mendorong pola penggunaan lahan berkelanjutan dan menggunakan sumber energi terbarukan. Langkah-langkah ini akan melindungi keanekaragaman hayati sekaligus meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim.
Kesimpulannya, walaupun konsep kota berkelanjutan sangat mengagumkan, masih terdapat permasalahan etika, sosial dan lingkungan dalam pembangunan di Nusantara. “Kota di dalam hutan” diharapkan tidak berujung pada hilangnya pemukiman, hilangnya adat istiadat, dan hilangnya habitat seperti prediksi Nusantara. Dalam konteks tersebut, perlu dilakukan pendekatan keberlanjutan yang lebih komprehensif dan inklusif yang mengutamakan keadilan sosial, pelestarian budaya, dan integritas ekologi tanpa mengorbankan kesehatan ekosistem dan komunitas. Penting untuk melibatkan para pemangku kepentingan, komunitas lokal dan kelompok masyarakat adat sejak awal dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, dan untuk memprioritaskan pandangan, keprihatinan dan tujuan mereka untuk memastikan bahwa rencana pembangunan mencerminkan kebutuhan dan kebijakan mereka.
Penting juga untuk mengadopsi prinsip ekonomi sirkular yang menekankan efisiensi sumber daya, minimalisasi limbah, serta daur ulang dan penggunaan kembali material. Penting untuk mendorong perilaku ramah lingkungan di kalangan perusahaan dan masyarakat lokal, mengurangi ketergantungan pada plastik sekali pakai, dan mendorong bentuk produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Indonesia dapat mencapai tujuannya untuk “tidak meninggalkan siapa pun,” sebagaimana dinyatakan dalam Visi Indonesia 2045, hanya dengan mengingat kekhawatiran ini dan menerapkan kebijakan yang matang dalam pembangunan infrastruktur dan rencana urbanisasi. Bagaimana semua ini dikelola akan terlihat saat ibu kota Nusantara diresmikan pada 17 Agustus 2024.
Artikel ini ditulis oleh Rahul Mishra
“Penggemar budaya pop. Pengacau ramah hipster. Pakar media sosial yang menawan.”
More Stories
Indonesia mencari kesepakatan perdagangan senilai US$3,5 miliar di Forum Kerja Sama Negara-negara Afrika
Indonesia menangkap seorang pria yang menjual cula badak melalui media sosial
Indonesia akan meningkatkan perlindungan cuaca bandara dengan Vaisala