Kebangkitan sinema Indonesia dirayakan di Festival Film Internasional Busan tahun ini dengan diputarnya 15 film, film pendek, dan serial.
Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, memimpin delegasi beranggotakan 50 orang yang terdiri dari pembuat film, kru, dan media ke festival tersebut. Variasi Berbicara dengan Farid tentang pembangunan negara serta peluang dan tantangan yang akan datang.
Indonesia telah membuat gebrakan besar di Busan tahun ini dan terus membuat gebrakan internasional dengan penghargaan di Locarno dan Venesia. Menurut Anda mengapa sinema independen Indonesia bisa mencapai titik ini?
Dalam 10 tahun terakhir, sineas Indonesia sedikit demi sedikit tampil di sirkuit festival global. Setiap tahunnya mereka memproduksi film-film berkualitas yang menggambarkan keberagaman Indonesia, mengedepankan perspektif perempuan dan berbicara tentang pemberdayaan. Stabilitas ini menjadi pilar kehadiran internasional Indonesia. Tentu saja, upaya ini tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa dukungan formal. Di sinilah pemerintah berperan memfasilitasi. Memfasilitasi koordinasi antar pemangku kepentingan, mendorong lahirnya laboratorium pengembangan film, dukungan travel grant dan berbagai kebutuhan lainnya yang dapat memperkuat inisiatif para sineas dalam mengembangkan industri ini. Jadi, kerja kolektiflah yang telah membawa sinema Indonesia ke kondisi saat ini… sebuah langkah demi langkah menuju industri yang lebih mapan, atau bahkan menjadi yang terbaik.
Bagaimana prospek perfilman Indonesia? Dan apa saja tantangannya?
Peluang dan tantangan tentu saja berlimpah. Perubahan lanskap industri akibat perkembangan teknologi telah mengakibatkan perubahan mendasar pada pola konsumsi media. Salah satu pasar potensial terbesar di dunia [Indonesia has a population of 277 million]Tentu saja perubahan pola konsumsi ini merupakan tantangan dan kemungkinan yang diperlukan untuk menerapkan strategi baru.
Bagaimana distribusi film independen di Indonesia?
Basis tradisionalnya tentu saja adalah pertumbuhan jumlah layar bioskop. Jumlah bioskop di Indonesia meningkat dua kali lipat dalam delapan tahun terakhir. Selain itu, juga tumbuhnya layar semi-komersial yang berbasis di pusat-pusat kebudayaan. Kami menyebutnya bioskop mikro. Penting juga untuk mendukung pertumbuhan OTT [streaming]Distribusi berbasis teknologi tidak hanya memungkinkan jangkauan yang lebih luas tetapi juga diversifikasi format audiovisual sambil menjajaki peluang baru. Dengan begitu, ke depan berbagai model bisnis perfilman di Indonesia akan saling melengkapi.
Bagaimana distribusi film independen Indonesia di dunia internasional?
Kebanyakan film independen Indonesia didistribusikan secara internasional melalui upaya produsernya sendiri. Pemerintah memfasilitasi mereka dengan bantuan keuangan dan bentuk insentif lainnya. Ke depan, kami akan mengkonsolidasikan inisiatif ini agar dapat memberikan dampak yang lebih besar. Koordinasi lembaga pemasaran, koordinasi dengan publikasi internasional dan kegiatan PR-ing serta dukungan perjalanan festival.
Di seluruh dunia, banyak film independen kini ditayangkan langsung di platform streaming dibandingkan dirilis di bioskop. Apakah di Indonesia juga sama?
OTT saat ini menawarkan opsi jangka pendek, sehingga memudahkan pembuat film independen. Ada beberapa film yang cocok dengan cara ini, namun bukan berarti formula tersebut berlaku umum untuk semua film. Layar tradisional penting untuk memperluas jumlah dan eksposurnya. Bagi Indonesia, menambah jumlah layar bukanlah perkara mudah mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan.
More Stories
Indonesia mencari kesepakatan perdagangan senilai US$3,5 miliar di Forum Kerja Sama Negara-negara Afrika
Indonesia menangkap seorang pria yang menjual cula badak melalui media sosial
Indonesia akan meningkatkan perlindungan cuaca bandara dengan Vaisala