Keadaan darurat plastik di Indonesia semakin memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Namun di tengah protes, penduduk setempat berdiri tegak. Wartawan foto Gary Lottulung mengungkap perjuangan sehari-hari dan ketangguhan akar rumput mereka.
Indonesia memiliki masalah sampah plastik yang sangat besar. Krisis meluas melampaui lautan ke sungai-sungai negara.
Data dari Nature Communications mengungkapkan bahwa empat sungai di Indonesia – Brendas, Ciliwung, Sitaram dan Brogo – termasuk dalam 20 sungai paling tercemar di dunia.
Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik terbesar kedua secara global pada tahun 2019, setelah China yang menempati posisi teratas dengan 8,81 juta metrik ton per tahun.
Karena masalah kemasan plastik di negara itu terus berlanjut, hal itu menyebabkan aliran sungai tersumbat, membahayakan satwa liar seperti burung dan kura-kura yang mengonsumsi bahan yang tidak dapat terurai secara hayati, dan sampah mengotori pantai.
Komunitas akuatik tersedak plastik
Sekitar 8 juta ton plastik dibuang ke laut setiap tahun. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia memperkirakan Indonesia menyumbang lebih dari 600.000 ton.
Wilayah pesisir Indonesia memiliki masyarakat yang padat penduduk, dan masalah sampah plastik tersebar luas dan lintas batas. Arus laut membawa sampah plastik ke berbagai arah, termasuk pulau-pulau tak berpenghuni, memperparah masalah tersebut.
Saya bertemu Suborno Jumar, seorang pencinta lingkungan Indonesia berusia 51 tahun di Pokur, Jawa Barat. Selain membersihkan Sungai Siliwung, ia mengabdikan dirinya untuk memberikan nasihat dan informasi kepada masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai.
Konsultasi tersebut berfokus pada penekanan pada peran vital sungai dalam menopang kehidupan, manfaat lingkungan yang diberikannya, dan peran pentingnya dalam mitigasi berbagai bencana.
Langkah konkrit yang dilakukan antara lain mencegah pembuangan sampah ke sungai dan mengadakan kegiatan bersih-bersih secara rutin yang melibatkan masyarakat setempat. Upaya tersebut mensosialisasikan konsep pengabdian kepada masyarakat di wilayah yang dilintasi Sungai Chiliwung bekerja sama dengan perangkat desa.
Subarno bercerita bahwa dia tidak bisa memahami perilaku orang yang membuang sampah sembarangan. Dia menyoroti pola konsumsi masyarakat yang sering membeli makanan kemasan dalam wadah plastik atau styrofoam, karena limbah jenis ini menimbulkan bahaya yang signifikan jika dibuang ke sungai.
Sungai limbah
Sungai Siliwung menempuh jarak sekitar 120 kilometer melalui delapan kota dan kabupaten di Jawa Barat dan Jakarta. Berasal dari daerah hulu yang terletak di lereng Gunung Pangrango di Sisarua, Kabupaten Pokor. Saat mengalir ke hilir, Ciliwung melewati lima kota administratif di Kabupaten Pokor, Kota Pokor, Kota Debok, dan Jakarta.
Diakui Jumar, kesadaran masyarakat tentang pentingnya tidak membuang sampah di sungai masih rendah.
Penyumbang limbah terbesar ke Sungai Chiliwung adalah limpasan yang masuk melalui anak sungai atau parit, ujarnya. “Di sungai-sungai seperti itu banyak terdapat puing-puing dipermukaan air di bebatuan. Puing-puing tersebut dibawa langsung oleh aliran air atau dibuang oleh warga terlebih dahulu ke sungai yang tenang kemudian terbawa arus yang deras.”
“Kita harus melindungi sungai bersama-sama.” kata Subarno.
Krisis nasional
Di Indonesia, plastik ada di mana-mana. Selain kantong plastik, barang sehari-hari seperti meja dan kursi juga umumnya terbuat dari plastik. Penyebaran ini dimungkinkan karena produk plastik lebih murah diproduksi di dalam negeri.
Meluasnya penggunaan kantong plastik dan kurangnya kesadaran akan dampak lingkungan dari sampah plastik dapat berkontribusi pada keadaan Indonesia saat ini.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah plastik setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, 3,2 juta ton berakhir di laut.
Di Jakarta saja, sampah plastik menyumbang 34 persen sampah harian kota pada 2019. Rata-rata timbulan sampah harian di Jakarta tahun itu adalah 7.702 ton, dan sekitar 10 miliar kantong plastik dibuang ke lingkungan setiap tahunnya, yaitu 85.000 ton plastik. Tas.
Pandemi Covid-19 membuat situasi semakin parah. Pembuangan masker dan peralatan pelindung lainnya telah secara signifikan meningkatkan beban sistem pengelolaan limbah negara yang sudah sangat parah.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (KLHK) melaporkan peningkatan 30 persen limbah medis harian selama pandemi menjadi sekitar 382 ton, dibandingkan dengan angka pra-pandemi sekitar 293 ton. Data dikumpulkan dari 2.820 rumah sakit dan 9.884 puskesmas di seluruh Indonesia.
Pembuangan limbah medis meningkat tajam di banyak TPA, termasuk peningkatan 500 persen di ibu kota Jakarta, termasuk TPA Purangeng.
Jarum suntik, bahan berbahaya, masker, dan limbah medis lainnya berserakan di TPA di salah satu TPA terbesar di Indonesia, Burangeng, yang terletak di kota Bekasi, Jawa Barat, sekitar 30 kilometer dari ibu kota Jakarta.
Sebagian besar sampah plastik tidak dapat didaur ulang dan tidak dapat terurai secara hayati, artinya sering berakhir di tempat pembuangan sampah, dan Indonesia memiliki jumlah yang signifikan. TPA terbesar di Indonesia adalah TPA Pantar Kebang yang berlokasi di Jakarta, di mana lebih dari 900 truk beroperasi, mengantarkan lebih dari 5.000 ton sampah setiap hari.
Karena limbah plastik melepaskan bahan kimia berbahaya ke atmosfer, limbah ini berbahaya bagi lingkungan. Awalnya, mereka mencemari air tanah karena bahan kimia meresap ke dalam tanah dan akhirnya mencapai sungai dan danau. Selain itu, tempat pembuangan sampah mengeluarkan gas metana, yang dikenal sebagai penyumbang polusi udara.
Tapi itu juga merupakan polutan iklim. Dari mengekstraksi bahan bakar fosil hingga membuat polimer hingga mengangkut dan membuang limbah, plastik sekali pakai akan menyumbang 450 juta metrik ton gas rumah kaca yang menghangatkan planet pada tahun 2021 saja, perkiraan Minderoo. Ini sedikit lebih kecil dari emisi tahunan Inggris Raya.
Tindakan pemerintah itu penting, begitu pula kesadaran publik
Sementara banyak negara semakin mengakui peran mereka dalam perubahan iklim, Indonesia juga harus meningkatkan upayanya. Pemerintah telah menetapkan target ambisius untuk mengurangi sampah plastik hingga 70 persen pada tahun 2025. Untuk mendukung tujuan ini, pemerintah telah berkomitmen untuk mengalokasikan US$1 miliar setiap tahun untuk prakarsa ini.
Tetapi langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia untuk memerangi penggunaan dan produksi plastik relatif tidak bergigi dibandingkan dengan langkah-langkah yang diterapkan di tempat lain di dunia. Jika Indonesia benar-benar ingin melindungi lingkungan, perlu mempertimbangkan penerapan langkah-langkah yang lebih agresif dan berdampak.
Sementara pemerintah mengakui kontribusi global Indonesia yang signifikan terhadap pencemaran sampah plastik laut dan menyadari urgensi untuk bertindak, komitmen politik untuk mengatasi masalah ini saat ini masih kurang.
Sementara itu, lebih dari 60 negara, termasuk Australia, India, Meksiko, Kolombia, Peru, Chili, dan Korea Selatan, telah menerapkan langkah-langkah untuk melarang atau mengurangi penggunaan plastik.
Dan kita semua dapat membuat dampak itu dengan menjalani kehidupan yang lebih berkelanjutan.
Dengan mengadopsi praktik seperti menggunakan tas dan botol yang dapat digunakan kembali sambil menolak plastik sekali pakai, kita tidak hanya memberikan contoh yang baik untuk anak-anak dan teman-teman kita, tetapi juga secara serius mengurangi jejak lingkungan kita.
Jika kita semua melakukan bagian kita, alam dapat menyembuhkan. Tidak ada tindakan yang terlalu kecil untuk membuat perbedaan.
Gambar oleh Gary Lottulung.
“Penggemar budaya pop. Pengacau ramah hipster. Pakar media sosial yang menawan.”
More Stories
Indonesia mencari kesepakatan perdagangan senilai US$3,5 miliar di Forum Kerja Sama Negara-negara Afrika
Indonesia menangkap seorang pria yang menjual cula badak melalui media sosial
Indonesia akan meningkatkan perlindungan cuaca bandara dengan Vaisala