7 Juni 2023
Jakarta – Dua produsen minyak sawit terbesar dunia, Indonesia dan Malaysia, sedang dalam pembicaraan dengan mitra Uni Eropa (UE), berharap untuk menghindari penerapan tindakan kejam yang akan memukul industri minyak sawit dalam undang-undang deforestasi yang akan datang.
Pejabat dari kedua negara bertemu pada 30 dan 31 Mei dengan kepala Komisi dan Parlemen UE untuk membahas ketentuan undang-undang yang akan datang yang disebut Peraturan Deforestasi UE (EUDR), yang akan memperketat aturan perdagangan produk terkait deforestasi.
Pertemuan tersebut dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia Erlanga Hartardo dan Wakil Perdana Menteri Malaysia dan Menteri Perkebunan dan Komoditi Datuk Seri Haji Fadilla bin Haji Yusof.
Menurut Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), kedua petani kecil dalam rantai pasokan terus menangani beberapa masalah, seperti penerapan skema sertifikasi berkelanjutan nasional, sistem standarisasi hukum, geo-lokasi, serta legalitas dan ketertelusuran produk. tanah. .
“EUDR akan mengurangi akses petani kecil ke pasar UE karena masalah dalam memenuhi persyaratan bukti hukum tanah dan lokasi geografis pertanian mereka,” kata Kantor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian kepada The Jakarta Post pada hari Minggu.
Ekspor minyak sawit Indonesia ke UE turun menjadi 5,3 juta ton tahun lalu, turun dari 7 juta ton pada 2019. Demikian pula pangsa ekspor minyak sawit dunia ke UE turun menjadi hanya 10,2 persen tahun lalu. 17 persen dalam lima tahun terakhir.
Baik Indonesia maupun Malaysia menyatakan keprihatinan atas sistem penilaian yang diusulkan UE, yang menetapkan tingkat risiko terkait deforestasi dan degradasi hutan.
Sistem mengalokasikan kategori rendah, kualitas dan tinggi, yang terakhir menghasilkan lebih banyak inspeksi dan kontrol dari grup untuk negara-negara yang mengirimkan produk mereka ke wilayah tersebut.
“Argumen dan mekanisme di balik pemeringkatan tidak jelas, dan banyak negara akan lebih rentan jika diberi status berisiko tinggi,” kata Kantor Menko Perekonomian.
Dalam pernyataan bersama pada 1 Juni, Indonesia dan Malaysia mendesak UE untuk mengklasifikasikan mereka sebagai negara berisiko rendah.
Sementara itu, Presiden Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengatakan kepada Post pada hari Jumat bahwa industri khawatir bahwa EUDR akan membuat Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) menjadi usang.
Keduanya adalah sertifikasi yang didorong oleh negara produsen yang berusaha mencapai keberlanjutan dalam produksi dan penggunaan minyak sawit.
“Jika terus seperti ini, akan menimbulkan biaya tambahan dan akan melarang ekspor,” kata Presiden Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddie Martono kepada Post.
“Dan jika dipaksakan pada negara produsen lain seperti Malaysia, maka akan mengganggu pasokan minyak nabati global yang pada akhirnya akan merugikan konsumen minyak nabati dunia,” imbuhnya.
Namun demikian, perwakilan Uni Eropa berada di halaman yang sama dengan Jakarta dan Kuala Lumpur mengenai kekhawatiran tentang petani kecil, menurut Kantor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
UE menyambut baik usulan pengaturan konsultatif di mana dua eksportir minyak sawit terbesar berharap untuk mengembangkan peraturan yang menerapkan keprihatinan mereka selama 18 bulan ke depan, tambah kantor itu.
Tapi Manchutus Tardo, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), tidak setuju bahwa langkah pemerintah adalah “untuk kepentingan petani kecil”, menunjukkan bahwa pemerintah mungkin berjuang untuk mengakomodasi keberatan dari perusahaan minyak sawit besar.
Dia mengatakan kepada Post pada hari Jumat bahwa sementara petani kecil tidak melihat kewajiban untuk memberikan lokasi geografis, sekitar 60.000 petani sudah memiliki koordinat atau poligon – data dengan bentuk tertentu yang diambil dari peta.
Peraturan Menteri Pertanian RI No. Seperti disebutkan pada 1/2018, Darto mengatakan bagian dari EUDR mewajibkan perusahaan untuk menawarkan harga yang wajar kepada petani. .
“Namun kenyataannya, sebagian besar petani harus menjual kepada tengkulak, yang menetapkan harga secara sewenang-wenang,” kata Darto seraya menambahkan bahwa seringkali terjadi kesenjangan harga yang lebar dan banyak perusahaan yang memanfaatkan situasi ini dengan membeli TBS dari tengkulak. Koperasi Tani. Topik:
“Penggemar budaya pop. Pengacau ramah hipster. Pakar media sosial yang menawan.”
More Stories
Indonesia mencari kesepakatan perdagangan senilai US$3,5 miliar di Forum Kerja Sama Negara-negara Afrika
Indonesia menangkap seorang pria yang menjual cula badak melalui media sosial
Indonesia akan meningkatkan perlindungan cuaca bandara dengan Vaisala