Pada bulan Juli tahun ini, Indonesia secara resmi mengumumkan niatnya untuk menjadi anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Menteri Keuangan Indonesia ditegaskan kembali Janji tersebut disampaikan dalam pertemuan Dewan OECD di Paris pekan lalu.
Keinginan Indonesia untuk menjadi anggota OECD bukanlah hal yang disangka-sangka. Negara ini telah terlibat dengan organisasi ini sejak tahun 2007 sebagai salah satu mitra utamanya. Kelompok OECD Jakarta secara aktif terlibat dalam studi OECD dan dimasukkan dalam database statistik organisasi. Indonesia bergabung dengan Pusat Pengembangan OECD pada tahun 2009 dan berpartisipasi dalam sembilan dari 30 komite dan partai kerja OECD.
OECD dikenal sebagai “Klub Negara-Negara Kaya” yang mempromosikan integrasi dan pembangunan di bawah platform ekonomi berbasis pasar.
Dari lima mitra utama, hanya Brazil dan Indonesia yang baru-baru ini menyatakan minatnya untuk bergabung dengan organisasi tersebut. Tiongkok dan India, yang memiliki perekonomian lebih besar dan pertumbuhan PDB lebih tinggi dibandingkan india, belum berupaya untuk bergabung dengan sistem ini. Sementara itu, Afrika Selatan menyesuaikan diri dengan aliansi BRICS, yang mencakup Brasil, Rusia, India, dan Tiongkok. Negara-negara tersebut dan negara-negara lain mempunyai alasan tersendiri untuk tidak bergabung dengan OECD, namun bagi Indonesia, manfaatnya mungkin lebih besar daripada kerugiannya.
OECD dikenal sebagai “Klub Negara-Negara Kaya” yang mempromosikan integrasi dan pembangunan di bawah platform ekonomi berbasis pasar. Keuntungan menjadi anggota badan terbatas ini adalah Indonesia harus mematuhi nilai-nilai dan prinsip-prinsip bersama yang ketat dari OECD untuk memastikan standar kebijakan ekonomi yang tinggi. Kerja sama internasional dan perjanjian perdagangan menjadi lebih mudah diakses ketika kebijakan publik suatu negara sejalan dengan standar global dan praktik terbaik. Di mata banyak investor, keanggotaan OECD mungkin merupakan “cap persetujuan” bagi Indonesia sebagai tujuan investasi potensial.
Keanggotaan akan memastikan bahwa pembangunan ekonomi dan sosial Indonesia dipantau secara teratur dan ketat melalui evaluasi dan pemantauan berkala. Pelembagaan evaluasi kebijakan yang independen dan objektif serta benchmarking internasional melalui perbandingan data lintas negara akan memfasilitasi pertukaran pengalaman yang diperlukan untuk mengembangkan kebijakan berbasis bukti.
Para pembuat kebijakan di Indonesia memiliki akses terhadap pertukaran pengetahuan dan keterampilan dari negara-negara maju serta keahlian teknis dan kemampuan analitis OECD. Proses-proses ini akan mendorong pemerintah Indonesia untuk melaksanakan reformasi penting untuk meningkatkan kesejahteraan warganya, seperti pengentasan kemiskinan dan peningkatan kualitas pendidikan. Oleh karena itu, OECD merupakan pemangku kepentingan dan rujukan penting dalam mengatasi permasalahan ini.
Namun, ada biaya yang harus ditanggung jika bergabung dengan OECD. Pertama, sistem ini terlalu berfokus pada kepentingan negara-negara maju sehingga tidak cukup mempertimbangkan kebutuhan dan perspektif negara-negara berkembang, karena struktur ekonomi, tuntutan dan kepentingan mereka berbeda-beda dari waktu ke waktu. Kita perlu belajar dari pengalaman negara-negara maju dan juga dari perspektif negara-negara berkembang. Pada tahap ini, Indonesia harus memutuskan apakah “praktik terbaik”, yang bisa berarti “praktik umum”, merupakan pendekatan terbaik dengan mempertimbangkan konteks dan keadaan lokal.
Sebelum menjadi anggota, Indonesia harus memperbaiki kebijakan berbasis bukti dan mengidentifikasi inisiatif yang harus diambil untuk memastikan kerja sama jangka panjang yang efisien dan efektif dengan OECD.
Kedua, keanggotaan OECD dapat menjadi sebuah stempel namun bukan jalan pintas untuk menarik investasi asing langsung (FDI). Riset Menurut Inter-American Development Bank, keanggotaan OECD membantu meningkatkan FDI, namun hal ini bukan satu-satunya pendorong. Misalnya, FDI meningkat setelah Meksiko dan Chile bergabung dengan OECD, namun hal ini juga meningkat di Brazil, yang bukan merupakan anggota organisasi tersebut.
Ketiga, keanggotaan OECD juga merupakan keputusan politik. Misalnya, setelah invasi Rusia ke Ukraina, OECD memilih untuk secara resmi membatalkan proses aksesi dengan Rusia, menutup kantor OECD di Moskow dan mengakhiri semua hubungan dengan Rusia. Keputusan-keputusan ini mungkin bertentangan dengan sikap kebijakan luar negeri Indonesia yang independen dan aktif.
Keempat, bergabung dengan OECD berarti Indonesia harus mengubah undang-undang dan kebijakan nasional dan daerah agar memenuhi kriteria OECD. Misalnya, Indonesia mungkin memerlukan kebijakan perdagangan dan investasi yang lebih terbuka, karena Tinjauan Kebijakan Investasi OECD tahun 2020 menemukan bahwa Indonesia lebih membatasi investasi internasional dibandingkan negara-negara ASEAN.
Ada lima bidang prioritas yang dinilai OECD dalam menerima keanggotaan baru: reformasi struktural, rezim perdagangan dan investasi terbuka, kebijakan sosial dan kesetaraan peluang, tata kelola publik dan upaya antikorupsi, dan perlindungan lingkungan. Dampaknya adalah seberapa siap Indonesia menghadapi konsekuensi dari standarisasi peraturan dan perundang-undangan. Apa konsekuensi jangka pendeknya bagi masyarakat lokal, dan apa yang perlu dilakukan untuk mempersiapkan masyarakat lokal menghadapi dampak keanggotaan?
Indonesia berharap dapat menyelesaikan proses aksesi dalam waktu empat tahun. Sebuah langkah Laporan berita Dari Kementerian Perindustrian, Indonesia telah menerapkan 15 dari 200 standar OECD. Untuk menunjukkan komitmennya, pemerintah Indonesia akan membentuk tim nasional yang akan mengidentifikasi kesenjangan kebijakan, sektor, dan isu-isu penting di wilayah ini. Keputusan aksesi Indonesia akan diambil pada pertemuan Dewan OECD pada Desember 2023.
Indonesia harus menguraikan risiko, periode partisipasi awal, dan manfaat jangka panjang bergabung dengan OECD. Sebelum menjadi anggota, Indonesia harus memperbaiki kebijakan berbasis bukti dan mengidentifikasi inisiatif yang harus diambil untuk memastikan kerja sama jangka panjang yang efisien dan efektif dengan OECD. Jakarta harus memaksimalkan manfaat peer review untuk mencapai visi Indonesia 2045. Kebijakan ekonomi dan kelembagaan yang berkualitas tinggi akan memungkinkan Indonesia mencapai ambisinya menjadi negara berpendapatan tinggi.
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan adalah milik penulis dan tidak mencerminkan pandangan Kementerian Keuangan RI.
“Penggemar budaya pop. Pengacau ramah hipster. Pakar media sosial yang menawan.”
More Stories
Indonesia mencari kesepakatan perdagangan senilai US$3,5 miliar di Forum Kerja Sama Negara-negara Afrika
Indonesia menangkap seorang pria yang menjual cula badak melalui media sosial
Indonesia akan meningkatkan perlindungan cuaca bandara dengan Vaisala