Tanda-tanda aliansi besar sedang dikerjakan
Pada 2 April, Jokowi bertemu dengan para pemimpin KIB dan KKIR di Jakarta. Khususnya, MDM Soekarnoputri, ketua PTI-P, di mana Bapak Widodo menjadi salah satu anggotanya, tidak hadir dalam pertemuan tersebut.
Surya Palu, pemimpin Nasdem, partai parlementer terbesar keempat, juga tidak hadir. Sementara Nasdem berada dalam koalisi yang berkuasa saat ini, ia telah mendukung mantan Gubernur Jakarta Baswedan sebagai calon presidennya, bersama dengan Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Partai Demokrat dan PKS adalah partai oposisi, dan langkah Nastem untuk mencalonkan Baswedan sebagai calon presidennya secara luas dilihat sebagai keputusan yang tidak didukung oleh Jokowi.
Pertemuan antara KIB, KKIR dan Jokowi, begitu presiden akrab disapa, terjadi beberapa hari setelah sepak bola. FIFA telah mencabut hak Indonesia untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun ini.
Keputusan itu muncul setelah beberapa protes, termasuk dari dua gubernur PDI-P, yaitu Mr Pranovo dan Gubernur Bali I Wayan Koster, yang tidak ingin Israel berpartisipasi dalam acara tersebut. Mereka berpendapat Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel karena mendukung Palestina.
Kegagalan menjadi tuan rumah turnamen umumnya ditudingkan pada PDI-P, dan Jokowi terang-terangan mengungkapkan kekecewaannya karena tidak bisa menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Pengamat politik mengatakan pada saat itu bahwa episode tersebut mungkin telah merenggangkan hubungan antara pemimpin Indonesia dan orang lain di partainya.
Seusai pertemuan, Subianto dari Kerindra mengatakan, partai-partai di aliansi KIB dan partai-partai di KKIR memiliki visi yang sama. Dia juga mengatakan bahwa mereka mendukung Jokowi.
“Ya, kami memiliki (visi yang sama). Ternyata kita punya, jadi kita merasa berada di frekuensi yang sama, kita punya keharmonisan,” kata Pak Subianto.
Ditanya wartawan apakah KIB dan KKIR cocok bekerja sama, Jokowi menjawab: “Saya bilang cocok. Tergantung pimpinan partai atau koalisi partai.
“Bagus kalau kita bisa membicarakan hal-hal untuk kebaikan negara, untuk kebaikan bangsa, untuk kebaikan rakyat,” katanya.
Ray Rangudi, seorang analis politik di think tank Linkar Madani yang berbasis di Jakarta, percaya mungkin ada upaya koalisi besar.
“Saya pikir ada upaya untuk membentuk aliansi besar, tapi tentu saja itu tidak mudah dan perkembangannya berubah hari demi hari, minggu demi minggu.
“Tapi bukan berarti itu (proses politik) akan mulus, bahkan jika upaya akan dilakukan untuk mencapainya, poin pentingnya adalah siapa yang akan menjadi presiden dan wakil presiden,” kata Ranguti.
Dia mencontohkan, koalisi besar berarti memiliki mesin kampanye yang besar untuk meraih suara, tapi itu hanya efektif jika ada calon presiden yang tepat.
“Memiliki koalisi yang besar tidak menjamin kemenangan karena kurangnya jumlah yang tepat,” kata Rangudi.
“Penggemar budaya pop. Pengacau ramah hipster. Pakar media sosial yang menawan.”
More Stories
Indonesia mencari kesepakatan perdagangan senilai US$3,5 miliar di Forum Kerja Sama Negara-negara Afrika
Indonesia menangkap seorang pria yang menjual cula badak melalui media sosial
Indonesia akan meningkatkan perlindungan cuaca bandara dengan Vaisala