Desember 26, 2024

Review Bekasi

Temukan Berita & berita utama terbaru tentang INDONESIA. Dapatkan informasi lebih lanjut tentang INDONESIA

Cahaya pertama di alam semesta

Cahaya pertama di alam semesta
Banyak tahapan dalam evolusi awal alam semesta yang masih belum dapat dijelaskan. Salah satu misteri penting berkaitan dengan asal usul sumber cahaya pertama di alam semesta yang dapat kita amati. Sebuah studi baru didasarkan pada pengamatannya Teleskop Luar Angkasa James Webb Hal ini menunjukkan bahwa sumber-sumber tersebut adalah bintang-bintang muda yang lebih terang dari perkiraan para ilmuwan sebelumnya.

4 Lihat Galeri

Galaksi spiralGalaksi spiral

Galaksi spiral

(Gambar: Shutterstock)

Mengapa alam semesta terlihat seperti ini? Ini adalah salah satu pertanyaan terbuka dalam astrofisika dan fisika secara umum. Selama satu miliar tahun pertama, alam semesta berevolusi dari kumpulan partikel berenergi tinggi yang tidak teratur menjadi kumpulan galaksi dan bintang yang lebih terorganisir, namun banyak detail dari proses ini yang masih belum kita ketahui.

Dalam sebuah studi baru-baru ini, tim peneliti internasional menganalisis pengamatan dari Teleskop Luar Angkasa James Webb, dengan fokus pada galaksi kerdil dari alam semesta awal, dan menemukan bahwa galaksi-galaksi ini memancarkan cahaya dengan intensitas yang jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan. Penelitian ini merupakan terobosan dalam pemahaman kita tentang sumber cahaya pertama di alam semesta.

Segera setelah Big Bang, alam semesta mengalami perluasan yang cepat, mencapai suhu dan tingkat energi yang sangat tinggi: suhu rata-rata partikel di alam semesta adalah sekitar 10^30 derajat Celcius.

Pada suhu yang sangat panas, partikel-partikel subatom tidak dapat berikatan satu sama lain dan karenanya tidak memiliki materi seperti yang kita kenal sekarang. Sekitar satu detik kemudian, alam semesta mendingin hingga sekitar satu miliar derajat, dan partikel subatom – bahan penyusun materi menurut Model Standar fisika partikel – tercipta, berikatan, dan membentuk proton dan neutron.

Pada saat alam semesta berumur sekitar dua puluh menit, ia telah mendingin hingga suhu ratusan ribu derajat Celsius. Kemudian proton dan neutron mulai berikatan dengan ion hidrogen, helium, dan litium.

4 Lihat Galeri

Ini ukurannyaIni ukurannya

ledakan besar itu

(Gambar: Shutterstock)

Karena suhu alam semesta yang tinggi, partikel-partikel tersebut mempertahankan energi yang sangat tinggi, sehingga elektron tidak dapat berikatan dengan proton untuk membentuk atom yang stabil. Akibatnya, sebagian besar alam semesta berada dalam keadaan plasma, suatu lingkungan partikel bermuatan listrik yang mengorbit satu sama lain. Plasma ini memblokir radiasi elektromagnetik, mencegah cahaya menyebar bebas ke seluruh alam semesta.

Selama 370.000 tahun berikutnya, alam semesta terus mendingin hingga suhunya mencapai sekitar 4.000 derajat. Pada titik ini, elektron akhirnya mampu berikatan dengan plasma, menciptakan atom netral. Radiasi latar belakang kosmik, yang memberikan wawasan tentang alam semesta awal, dilepaskan selama fase ini. Radiasi ini mampu menempuh jarak yang jauh ke arah kita karena tidak terhalang oleh keberadaan plasma.

Pada titik ini, ketika alam semesta berusia sekitar 400.000 tahun, sebagian besar terdiri dari atom hidrogen dan helium netral yang tersebar merata di seluruh ruang angkasa. Tidak ada bintang, galaksi, atau benda langit kompleks lainnya yang kita kenal di langit malam saat ini. Khususnya, tidak ada sumber cahaya dan alam semesta tertutup kegelapan.

Sekitar 20 juta tahun kemudian, ketika alam semesta terus mengembang dan mendingin secara dramatis, sumber cahaya tertua di alam semesta baru terbentuk. Para ahli astrofisika yang mempelajari sejarah alam semesta masih ragu mengenai sifat dan asal usul sumber cahaya tersebut, kapan sumber cahaya tersebut diciptakan, dan bagaimana caranya.

4 Lihat Galeri

hitam dan putihhitam dan putih

Lubang hitam

(Gambar: Shutterstock)

Teori yang berlaku mengenai sumber cahaya tertua di alam semesta menunjukkan bahwa sumber cahaya tersebut mungkin berupa lubang hitam masif, galaksi masif, atau bintang muda. Teori komprehensif yang menjelaskan pembentukan bintang dan galaksi di awal alam semesta belum dirumuskan, dan fisikawan masih mencoba memahami kapan dan bagaimana sumber cahaya pertama kali muncul di alam semesta.

Dengan menggunakan Teleskop Luar Angkasa James Webb yang diluncurkan pada akhir tahun 2021, para peneliti berangkat untuk mengamati galaksi yang sangat jauh. Karena cahaya merambat dengan kecepatan terbatas, cahaya dari galaksi jauh memerlukan waktu lama untuk mencapai kita. Para peneliti memfokuskan pengamatan mereka pada cahaya yang berasal dari galaksi sekitar 13 miliar tahun yang lalu, yang kini mencapai teleskop, memungkinkan mereka melihat sekilas proses yang terjadi di awal alam semesta.

Galaksi-galaksi jauh ini tampak seperti keadaannya miliaran tahun yang lalu, ketika mereka masih merupakan galaksi-galaksi muda yang memancarkan lebih sedikit cahaya dibandingkan dengan benda-benda kosmik lainnya. Oleh karena itu, sulit untuk mengamati galaksi jauh menggunakan metode konvensional.

Untuk menyiasati hal ini, para peneliti menggunakan teknik mutakhir: berdasarkan teori relativitas umum Einstein, yang menyatakan bahwa massa berat dapat membengkokkan ruang dan membengkokkan jalur cahaya yang lewat di dekatnya.

Para peneliti fokus pada galaksi yang terletak di belakang gugus galaksi besar Abell 2744, yang karena massanya yang besar, bertindak sebagai lensa gravitasi, memperbesar dan memfokuskan cahaya yang datang dari belakangnya. Hal ini memungkinkan para peneliti untuk meningkatkan jumlah cahaya yang mencapai teleskop, memfasilitasi pengamatan yang lebih akurat.

Para peneliti menganalisis cahaya yang berasal dari galaksi katai, yaitu galaksi yang hanya berisi sekitar satu miliar bintang. Sebagai perbandingan, galaksi Bima Sakti tempat kita tinggal berisi ratusan miliar bintang. Para peneliti menganalisis pengamatan dengan cermat dan menemukan bahwa galaksi kerdil ini memancarkan radiasi empat kali lebih kuat dari perkiraan sebelumnya.

Selain itu, galaksi katai ini lebih banyak ditemukan di alam semesta awal dibandingkan galaksi yang lebih besar. Hasilnya, para peneliti memperkirakan mayoritas sumber cahaya awal alam semesta adalah galaksi jenis ini.

Studi ini adalah contoh lain dari pencapaian ilmiah yang dicapai dengan bantuan Teleskop Luar Angkasa James Webb. Meskipun hasilnya patut dicatat, para peneliti menekankan perlunya penelitian lebih lanjut, termasuk pengamatan terhadap sampel galaksi yang lebih luas, untuk memperkuat validitas kesimpulan mereka.