Aloysius Ephraim Leonard (Jakarta Post)
Premium
Jakarta
Selasa, 12 April 2022
Di negara di mana orang-orangnya adalah orang luar, aturan media sosial. Dunia telah berulang kali melihat bagaimana media sosial dapat menciptakan perubahan sosial. Dunia telah melihat media sosial berevolusi dari tempat alami di mana orang mengekspresikan keprihatinan mereka, untuk mengarang informasi yang salah dan mengarang buzzer untuk membuat kesimpulan yang salah.
Ungkapan “tidak ada virus, tidak ada keadilan” bukanlah hal baru di Indonesia. Kementerian Sumber Daya Manusia mengubah kebijakan rencana pensiunnya setelah kecaman di media sosial dan petisi online yang didukung oleh 400.000 Netizen di Change.org. Ketika ribuan Netizen berbagi keprihatinan mereka di media sosial, terutama di Twitter, kementerian perusahaan milik negara mengubah kebijakan vaksinasi biaya. Polisi di Kabupaten Lou Timur membuka kembali kasus pelecehan seksual setelah mulai mendapat perhatian di media sosial.
Mempertimbangkan situasi baru ini, dapatkah kita menyimpulkan bahwa ini adalah pertanda baik bagi demokrasi Indonesia ataukah tanda peringatan akan pembusukan? Akankah klise kita pada akhirnya menghancurkan demokrasi perwakilan kita?
Baca cerita lengkapnya
BERLANGGANAN SEKARANG
Rp 55.500 / bulan
- Akses tak terbatas ke konten web dan aplikasi kami
- Surat Kabar Digital Harian E-Post
- Tidak ada iklan, tidak ada interupsi
- Akses khusus ke acara dan program kami
- Berlangganan buletin kami
Atau biarkan Google mengelola langganan Anda
“Penggemar budaya pop. Pengacau ramah hipster. Pakar media sosial yang menawan.”
More Stories
Indonesia mencari kesepakatan perdagangan senilai US$3,5 miliar di Forum Kerja Sama Negara-negara Afrika
Indonesia menangkap seorang pria yang menjual cula badak melalui media sosial
Indonesia akan meningkatkan perlindungan cuaca bandara dengan Vaisala